Seni Memperibet Diri VS Keep It Simpel


Seni memperibet diri VS Keep It Simple

Pengalaman Memperibet Diri Sendiri

Sebagai seorang yang terkenal sangat keras kepala, ini kata ibu saya dulunya. Sekarang masih terkesan sangat keras kepala, terlebih lagi terhadap impian di masa depan. Sudah dibilang juga nggak usah nulis, enggak ada gunanya, masih juga tetap nulis. Entah kapanlah kau bisa maju, asyik terpuruk aja.

Ada juga ungkapan dari sahabat saya mengatakan apa yang dia pandang terhadap diri saya.

Si kocik ini payah Ma, (waktu itu dia bilangkan ibunya) dia kalau udah satu ya satu. Kau pun Ni, namanya orang tua. Dia pasti tahu apa yang terbaik buat anaknya. Jadi begitulah, kupandang udah lama kali dirimu nulis, tapi kok enggak sukses-sukses gitu ya.

Saya menuliskan ini dengan perasaan yang sedikit nyelekit, menusuk jantung tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Padahal ngakunya udah ikhlas dengan segala wahana ungkapan atau cara orang lain yang melarang saya untuk meneruskan dunia tulis menulis. Namun tak mengapa, saya harus keep it simple, bawa enjoy saja sama orang-orang yang julid.

(Masih berpikir, pengalaman apa yang memperibet diri sendiri)

Bermula ketika masa di perkuliahan. Gaya belajar saya pada waktu itu terkesan sangat lambat. Orang-orang sudah menggunakan kecanggihan teknologi dalam menyelesaikan tugas review jurnal berbahasa Inggris. Saya malahan berusaha tidak menggunakannya karena hanya merasa tidak mengerti dengan terjemahan secara digital. Berasa kurang memahami apa yang disampaikan secara bahasa Indonesia.

Apa yang terjadi?

Saking kuatnya saya mempertahan egois dalam diri untuk tidak menggunakan fasilitas canggih arahan teman saya. Alhasil apa yang saya dapatkan? Benar sekali, tugas tidak selesai tepat waktu dan saya dimarahin sama teman saya sendiri selaku pengumpul tugas. Fix, rasa nyelekitnya tak terlupakan sampai sekarang.

Pengalaman kedua cara memperibetkan diri adalah dengan mengerjakan tugas yang sebenarnya orang lain sudah mengerjakannya. Saya tetap mengerjakannya sebisa mungkin versi diri saya, walaupun sebenarnya saya itu harus menyiapkan diri bahwa hasil pekerjaan saya tidak digunakan oleh mereka. Alasannya sungguh sangat klasik. Yah, itung-itung buat latihan belajar bagaimana caranya membuat tugas itu. Sementara ada orang lain yang sedang menasehati diri saya. “Jangan begitu, kan enggak enak juga. Kalau mereka sudah buat, sementara kamu buat juga. Entah mereka mikirnya sebagai perbandingan jatuhnya. Enggak enakan jadinya.”

Waktu itu posisinya saya sudah mengerjakan separuh. Walaupun saya mengetahui tugas itu memang sudah dibuat orang lain. Entah mengapa saya merasa harus menutup mata atau pura-pura tidak tahu saja. Astaghfirullah, saya berusaha untuk melihat diri yang ternyata masih terbesit rasa keegoan tinggi. Enggak mau mengomunikasikan hal ini. Terlebih lagi memberikan sebuah alasan bahwa saya tuh akhir-akhir ini sungguh sangat sibuk, tapi tidak mampu mengatakannya dan akan mengusahakan nanti. Hingga akhirnya menuju hari terakhir barulah saya mengerjakannya dan alhamdulillahnya sih siap dikerjakan. Walaupun tugas saya belum sempat dibacanya pada hari yang dijanjikan.

Pengalaman ketiga cara memperibetkan diri adalah dengan tidak pernah meminta uang pada ayah saya padahal saya sungguh sangat butuh hingga akhirnya terlibat situasi gelap. Alasannya sungguh sangat klasik, saya berpikir ayah tidak punya uang karena setiap hari Ibu selalu mengatakan hal ini. Padahal aslinya, uang Ayah saya banyak tuh dan bahkan dihambur-hamburkan ke orang lain yang tidak tepat. Saya berharap orang sekeliling saya itu peka. Kalau saya sudah mengatakan tidak punya uang untuk ongkos ke kampus atau ke mana gitu ya dikasih. Nyatanya enggak ada yang peka :D. Nggak ada yang mau memberikannya kepada saya. Sampai pada akhirnya ini pengalaman yang menyedihkan. Saya tidak jadi ikutan daftar PPG Prajabatan hanya karena enggak punya uang  200 ribu untuk biaya ujiannya. Padahal saya tuh sudah mati-matian mengeluarkan energi untuk menjawab pertanyaan esai yang membuat kepala mendidih. Namun ya sudahlah, itu kan sudah menjadi masa lalu. Hal yang jelas setelah beranjak dari situ kalau saya bilang saya enggak punya ongkos buat kerja atau enggak punya paket internet auto ditawarkan pinjaman oleh keluarga saya.

Belajar Keep It Simple

Arti dari keep it simple  itu adalah menyederhanakan sesuatu yang berarti jangan memperibet diri loh. Misalnya ada pekerjaan rumah yang berantakan. Kita sudah lelah banget karena habis pulang kerja, terus lihat yang lain asyik sibuk sendiri sama kegiatan have funnya. Pasti bakalan menyuruhnya untuk membantu membereskan kan. Cara mengatasinya adalah dengan menyuruh secara baik-baik. Kalau enggak dikerjai, ya kerjai sendiri. Kok ribet, kan yang ingin suasana hidup rapi tuh diri sendiri bukan dia yang sedang have fun.

Kalau ketemu orang terdekat, khususnya keluarga. Dia enggak punya uang buat ongkos untuk perjalanan menimba ilmu. Sementara kitanya ada rezeki yang lebih. Berikan sedikit, tanpa perlu diminta. Kan simple, cara berbuat baik tanpa harus menurunkan ego.

Untuk pengalaman ini sebenarnya saya masih sangat minim sekali pengalamannya, tapi ada satu rekomendasi pembahasan tentang keep itsimple dalam hubungan yang mungkin bisa dipelajari. Kebetulan saya baru belajar dari acara Hajatan yang diadakan oleh Kemenkeulibrary.

Itu saja kali ya cerita pada awal pagi kali ini. Semoga menjadi perenungan bersama bahwa jangan mengambil pusing sesuatu yang sebenarnya masih bisa nggak perlu dipusingin, sebagai gantinya ya harus cari solusi untuk menurunkan rasa egois di dalam diri. Kalau masih sulit juga. Banyakin saja istighfarnya. Supaya Allah Swt melembutkan hati kita.

Previous
Next Post »