Pantaskah Kita Duduk Bersama? (Episode 1)

Pantaskah Kita Duduk Bersama? (Episode 1)

Kupikir Dia Racun, Ternyata Amunisi

Bagaimana cerita ini bisa dimulai? Ah, sebenarnya itu sudah sangat lama. Aku berusaha mengorek penggalan masa silam yang paling samar tentang hadirnya lelaki menemukanku lebih dulu. Kupikir pun begitu, aku biasanya menemukan orang lebih dulu dikarenakan aku yang sering menyembunyikan identitas dari khalayak ramai.

Bagiku, aku adalah orang biasa. Segala pencapaian yang kupunya kalau bisa nggak usah orang tahu. Aku takut mereka akan minder dengan cara berpikirku yang tidak bisa diam, pantang jalan di tempat, dan bawaannya selalu ingin berkembang. Jika kedapatan aku terbengong enggak karuan, rasa stress itu menghampiriku dan malah membuatku menjadi sakit.

Namun ternyata, bukan kemampuan otak yang tidak berpikir membuatku sakit melainkan mengenali kecerdasan emosionalku yang paling buruk. Padahal aku adalah salah satu makhluk paling perasa. Saking perasanya, kupendam sendirian bersama ruang yang membisu. Hingga rasa sakit itu terkadang menjelma menjadi penyakit aneh. Bahkan tak mampu kutuliskan bentuk perasaanku yang tak terbentuk sekalipun. Bertahun-tahun kujalani, hingga akhirnya aku bertemu dengan ia. Si makhluk dengan segala pemikirannya yang acap kali tak jauh berbeda dengan lingkungan terdekatku.

Ternyata, kami sungguh berbeda. Dia dengan Pemikirannya dan aku dengan Perasaanku. Sama-sama sering berpikir dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Aku yang tak ingin mengatakan bagaimana perasaannku, berharap dia akan mengenali perasaanku dan dia dengan keegoannya seolah tidak terjadi apa-apa. Emang bisa interaksi antara lawan jenis dalam waktu yang lama? Sungguh itu sangat sulit, manusia yang paling berdampak adalah si pemilik perasaan lebih dulu. Entah aku atau dia, aku pun enggak tahu. Katanya lelaki itu lebih gampang jatuh cinta, sementara perempuan perlu waktu untuk mencintai seseorang.

Racun itu bernama ketidakpedulian dengan perasaan

Kenapa orang bisa sakit? Hal yang paling pasti adalah tingkat imunnya yang paling rendah. Namun kebanyakan rasa sakit itu datang karena pemikiran dan pemikiran yang membuat cemas itu pula sering kali tidak disadari.

Flahsback

Pagi itu dokter itu memarahiku, melalui sorot matanya aku langsung mengeluarkan air mata sesenggukkan. Ia memang tidak bertanya padaku seperti perempuan pada umumnya karena ia merupakan dokter pria.

“Kamu enggak bisa bohong! Seharusnya kamu makan lebih congok dengan obat-obatan ini bukan malah sebaiknya. Sebanyak apapun obat yang kami beri, jika jiwamu sakit akan tetap sama saja. Enggak ada gunanya,” ucapnya lantang kemudian meninggalkanku di ruangan itu bersama perawat yang berusaha berbicara padaku.

Anehnya, aku tidak menyadari bahwa obat paling mujarab untukku yang sakit bukanlah Paracetamol atau Amoxillin, ternyata ruang bercerita dengan orang-orang tertentu. Tipe si manusia perasa itu ternyata hanya butuh ruang bercerita untuk mengobati jiwanya yang tengah terluka.

Ternyata selama ini aku melukai diriku sendiri atas dasar takut berdosa. Takut berdosa mengingat manusia yang mengitari mimpi panjangku. Kusiksa diriku sendiri dengan menolak perasaanku sendiri, menolak perasaan aku cenderung memikirkannya, serta menolak kebahagiaan yang datang padaku. Tak usah basa-basi, kutolak rasa cinta yang Allah beri padaku dan ternyata itu yang membuatku sakit hingga kurus kering.

Hatiku sungguh sangat buta, aku lebih memilih beranjak pada masa depan yang belum pasti. Kusampaikan pada diriku bahwa yang pertama ia jelas bukan mahramku dan kedua di hatinya bukan aku yang diinginkannya. Aku sungguh egois sekali bukan, sebagai perempuan siapa yang tidak ingin dijadikan sebagai ratu di hadapan seorang lelaki yang dicintainya? Sayangnya, aku terlalu buta hingga melupakan aku bukan siapa-siapa di hadapannya. Merasa kehilangan? Memiliki pun tidak. Segera kusimpulkan bahwa cinta itu sungguh sangat membutakan.

Beberapa pekan kemudian aku sudah tidak kembali lagi ke Puskesmas. Hingga pada suatu waktu aku harus kembali ke sana, tapi tidak bertujuan untuk mengobati diriku yang sakit, melainkan adikku yang paling bungsu. Perawat itu pun sungguh bingung melihatku, kenapa aku bisa sehat dan seceria itu? Ia bahkan berpikir kalau aku sudah taken dengannya seperti menikah dengannya atau malah sudah move on benaran.

Alis mataku terangkat seketika, “aku menerimanya Bu. Kuterima perasaanku apa adanya, kuterima bahwa aku memang mencintainya.” Sejak saat itu, racun yang membuatku menjadi sakit kini menjadi obat bagiku bahkan sesekali menjadi amunisi. Aku berusaha memahami emosional di masa lalu. Justru perasaan benci itu berangsur-angsur menjadi cinta dengan sendirinya secara sadar. Kalau enggak disadari mungkin aku sudah menjadi tengkorak. Kan berat badan turun sekilo dalam rentang satu minggu.

 Hadirnya sudah sangat lama

Namanya cinta, sudah jelas dong membutakan. Alasan paling signifikan kenapa aku menolak perasaanku dengannya adalah aku sudah memiliki perasaan mendalam dengan orang sebelumnya. Meskipun aku mengetahui bahwa aku ditolak mentah-mentah, dijauhi secara halus, diperlihatkan secara nyata ia dengan gebetannya. Toh aku bahagia saja karena kupikir syarat untuk mencintai adalah tidak menuntut apa-apa dan tidak menuntut pula balasan. Alasan paling klasiknya begini, bahagia ketika melihat orang dicintai bahagia.

Namun yang satu ini, aku tidak mengenalinya. Jika tidak mengumpulkan buku agendaku dan kubuka satu per satu. Mungkin aku tidak akan pernah tahu, bahwa dia adalah manusia yang kusebut dengan Jauzi di masa silam. Jauh sebelum aku berinteraksi secara nyata dengannya. Jauh sebelum aku menyatakan bahwa aku siap menikah. Ah, ahlinya kisah mengagumi dalam diam adalah aku. Singkatnya, dia itu sebenarnya pelengkap ide episode ceritaku yang lengkap dan penyelesaian masalahku dengan tenang. Kuperhatikan sekali lagi semua ide novelku. Rata-rata aku mengagumi orang, mengabadikan momentumnya, tapi tak kunjung selesai kutulis. Sedangkan dengannya, ideku berhamburan. Bahkan novel itu bisa kuselesaikan dalam sebulan. Aneh ya, tapi nyata. Bahkan dengan tidak berinteraksi sekalipun ia sudah seberdampak itu.

Bersambung

Keterangan :

Congok : banyak makan

Idul Fitri 1445 H Ala Diary Harumpuspita

Idul Fitri 1445 H Ala Diary Harumpuspita
Nguap sedikit udah ketinggalan zaman, untung enggak beda generasi. Mungkin kalau yang beda generasi ini nih ketika saya sudah menikah. Hahah, lucu ya. Entah kapan pun nikahnya. Besok sajalah, kalau enggak kesiangan.

Oke, lebaran pertama bertepatan 1 Syawal 1445 H. Tahu nggak apa yang terintas dalam benak? Banyak banget.

Hal-Hal yang terlintas di dalam benak ketika lebaran tiba ala Diary Harumpuspita tahun 1445 H.

1.       Dosa

Pertama kali wajib ingat dosa, sebelum diingatin sudah sadar duluan. Hmm, itu bertepatan tadi malamnya. Pas malam takbiran. Orang-orang bersuka cita meraih kemenangan sambil mengucap kalimat takbir banyak-banyak. Lah, saya malah teringat dosa yang masih bergelimpangan. Ingat dosa dan bawaannya minta ampun mulu. Emang dosa lu sebesar apa sih?

Ya, enggak tahu sih. Pokoknya kalau hati sakit enggak ketulungan, kan tandanya ada dosa tuh yang bermuara. Dosa radar budek kalau dipanggil emak bapak. Terus tentang waktu lagi, masih lalai. Enggak tepat waktu gitu kalau solat karena ketiduran. Itu rasanya sudah seperti orang kehilangan gaes. Masa iya, azan enggak dengar sama sekali. Bukannya itu pertanda kalau ada dosa yang menghampiri makanya budek atau jangan-jangan si setan yang lagi mendominasi. Ah, tuh kan. Ujung-ujungnya menyalahkan setan lagi, kan menjadi dosa karena berburuk sangka sama setan.

2.       Turunin standar kebahagiaan sampai paling rendah

Bagi saya, adik itu kayak bestie. Qadarullah, ia kecelakaan ketika malam minggu menjelang lebaran yang mengharuskan dirinya rehat di kamar. Bersamaan dengan itu kami menyusulnya dan ternyata sepeda motor mogok dikarenakan tali belting putus dan ayah saya jatuh dari kereta ketika perjalanan pulang. Alhasil, di rumah pada bersakitan. Tinggal saya dan adik saya yang paling bungsu terbilang paling waras.

Sebenarnya saya tuh masih belum siap saja dengan pertanyaan kapan dan kenapa. Takut-takut kejadian sebelumnya terulang lagi ketika bertemu dengan orang lain ketika lebaran. Kalau dulu senangnya bukan main bertemu dengan keluarga yang datang ke rumah. Tahun ini memang sebaiknya lebih sering ngendap di rumah saja deh biar lebih aman gitu. Kebetulan adik juga sedang sakit kan, kan jadi ada alasan nggak ke mena-mana. Walaupun kadang mikirnya gitu, kalau memang saya ditakdirkan untuk mengalami kejadian serupa seperti tahun-tahun yang lalu. Bukankah itu pasti terjadi? Ngapain repot, yang penting sekarang ini saya bahagia walaupun kelihatan random dan absurd sekalipun.

3.       Ngebayar hutang tugas yang belum terselesaikan

Setiap minggu, saya paling rajin untuk menulis catatan dosa yang harus saya selesaikan. Alhasil lumayan banyak jugalah kalau dihitung-hitung. Selama masanya kerja, saya tak punya banyak waktu untuk menyelesaikannya. Pagi, siang, hingga ke sore saya mendedikasikan diri ke sana. Sementara kalau malam waktunya berkhalwat kepada Allah. Jadi, liburan ini adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan segala hutang tugas.

4.       Makna kesendirian yang terasa banget

Sebenarnya saya enggak sendirian, ada Allah beserta para malaikatnya. Cuma yang menjadi nyesnya ini bukan pekara kamu kapan? Tapi lebih kepada, “semoga Henny diberikan jodoh yang sholeh.” Seketika perasaan saya nyesnya engggak ketulungan, disambut lagi dengan abang yang ngegodain pasal romansa saya tidak normal dikarenakan belum pernah pacaran di umur yang setua ini. Tahu ekspresi wajah saya? Masam bukan main dong ya. Susah benar menjaga diri untuk tidak masuk ke zona perzinaan. Malah kena kompor, untung enggak meledak sih. Saya tahu dengan diri sendiri yang sebenarnya kalau urusan perasan itu ngebuat diri lemah tak berdaya. Bahkan menjadi shaleha sekalipun juga enggak menjamin diri aman dari zona mabuk asmara. Yah, daripada jatuh ke tangan yang salah mending menjaga diri sampai akhirnya dihalalin. Bunda Maryam saja bisa menjaga kehormatannya, masa kita sebagai wanita enggak bisa sih. Hmm, untungnya teman-teman yang lainnya pada shaleha, jadi radar kuat kalau digoyang dengan pernyataan abang saya bak angin tornado itu.

Mungkin selama ini saya sudah ketemu jodoh sebenarnya, cuma memang belum waktunya saja yang disatuin. Jadi, mohon banyak-banyak bersabar. Pada segmen lain bakalan saya buat deh kriteria calon pendamping Diary Harumpuspita.

5.       Apa kabar perkembangan diri?

Sebagai orang yang fleksibelitas, saya tuh suka berpikiran kalau karakter itu bisa diubah sesuai dengan maunya diri seperti apa. Walaupun butuh usaha yang luar biasa.  Enggak terpatok dengan karakteristik zodiak atau golongan darah. Ya, walaupun setelah diintip-intip juga enggak ada bedanya. Makanya saya kaget luar biasa ketika mengetahui kalau memang tingkat kepekaan perasaan itu lebih dominan dibandingkan logika. Beda sendiri soalnya sama saudara yang lain. Sampai mikirnya begini, ya Allah kenapa hamba berbeda? Cuma sebaper-baper saya kamu mengatakan nggak mood itu diusahakan jangan keluar. Ah, iya. Sikap enggak enakkan itu barangkali yang menjadi penyebabnya.

Yah, anggap sajalah punya perasaan yang lebih dominan itu sebagai kekuatan karena memang jarang banget ada, karena orang yang enggak peka dalam hidup. Paling dihidupkan saja tingkat kepekaannya pada hal-hal yang tepat, tapi yang namanya juga hidup. Capek benar, kalau hidup cuma mikirin perasaan. Ya enggak jalan-jalan. Makanya cara mengatasinya ketemu orang yang lingkarannya benar-benar positif. Mari didekati secara ugal-ugalan.

Jadi, mulai lagi dengan kebiasaan baru untuk membentuk sebuah karakter? Siapa takut.

6.       Enggak beli baju nggak buat galau kok

Sudah dewasa malah enggak beli baju. Hmm, enggak suka style ya? Kayaknya wanita yang kurang memperhatikan style dalam hidup adalah saya. Senang banget kayaknya kalau mengenakan pakaian ala sederhana. Bukanya gimana ya, enggak suka style. Saya suka style kok, bahkan kepikiran untuk menjadi designer pakaian syar’I ketika masih kecil. Masalahnya stok pakaian sudah banyak banget di rumah. Takut saja enggak bisa mempertanggung jawabkannya di akhirat gitu. Yah, walaupun pakaian yang ada di rumah kebanyakan merupakan hibah, tapi kan itu pakain layak pakai juga. Mending uangnya buat dibelikan buku atau kasih emak saya saja deh biar bisa makan enak. #plak.

7.       Waktunya berkarya ugal-ugalan

Tunggu nih, otak saya tengah berpikir pasal ini. Pada masa silam, saya punya target yang besar dalam menjalani hari. Kalau setiap hari minimal menghasilkan satu karyalah begitu. Bahkan sampai di titik puncaknya adalah estimasi satu jam satu artikel atau satu bab novel. Sampai segitu produktifnya ya kan. Sekarang ini, emang bisa melakukan hal yang serupa?

Yah, kalau dibilang serupa sih bisa. Cuma enggak instan saja, ibaratnya baru merangkak lagi, berjalan, baru bisa berlari. Hihi, kita lihat saja perkembangan nanti. Bakalan terdistrak lagi nggak ya? Bakalan goyah lagi nggak ya? Atau semangatnya sama nih seperti buntut tikus.

Oke, itu saja yang bisa saya sampaikan pada segmen kali ini. Semoga Allah Swt memberikan taufik hidayah dan bisa terus saya genggam dalam hidup. Semangat berproses. Mari bertumbuh sesuai dengan maunya Allah dan maunya hati kita, jangan maunya orang. Enggak tenang hidupnya ntar.