Kenangan


kenangan
membawa sukmaku berlabuh
terenyuh setiap untaian di bibir tipismu
mengalun kerinduan bercengkerama
tak ubahnya kepastian belaka
bayanganmu menyemai wajah
tersusut dalam sebuah ilusi
harmonisasi menyendiri
kuharap
kita adalah pelebur nestapa

rumah kita, 18 Maret

_Intro_
Puisi ini saya tuliskann untuk adik saya yang berada di sana
semoga kalian dalam keadaan baik-baik saja dan selalu dilindungi Allah swt.

RDH-Episode 1-Pendatang Baru


Jika ingin mendengarkan backsound musicnya bisa mendengarkannya. Song by Al-Khadijah dengan judul Syaikhona. 



Asyifa mengikuti barisan yang ada di depannya. Rela berdesak-desakan hanya ingin bersalaman secara langsung dengan tokoh idola. Orang-orang mulai sibuk dengan tujuan mereka sedangkan suasana tidak begitu sumringah. Angin yang berembus mesra menemani ruang lingkup tersebut. Ia sudah memastikan penampilannya cukup sopan kali ini dengan gamis kesukaannya.
Beberapa menit kemudian ia benar-benar menemui wajah tampan itu. Lelaki yang mampu memporak-porandakan jantungnya dan membangkitkan hormon dopaminnya. Kini di mata Asyifa lelaki itu terlihat sangat menawan dengan kemeja cokelat kehijauan yang ia kenakan. Asyifa menangkupkan telapak tangannya seraya tersenyum dan dihadiahi pula senyuman yang sama. Ia salah tingkah dan menyentuh pucuk telapak tangan yang sama-sama menangkup itu.
“Duh, dasar bodoh! Seharusnya aku bisa mencegah diriku tadi,” runtuknya. Ia merasa konyol dengan serangan yang ia lakukan. Alih-alih menjaga dirinya ala ukhti malah menelantarkannya keshalehannya. Ia tidak bisa membendung rasa sukanya. Malah terbelenggu dalam hasratnya dan orang-orang tetap tidak ada yang peduli dengan dirinya. Asyifa sendirian menyikapi hatinya yang menyatakan sedang bahagia. Tenang dan memenuhi ruang kosong dalam kalbunya.
Asyifa masuk ke ruang kelas dan menggendong beberapa buku besar di tangannya. Belajar fisika benar-benar membuatnya serabutan. Pertama, pelajaran itu rumit. Kedua ia tidak menyukai pelajaran tersebut. Entah karma mana yang harus ia tanggung atas keputusan pendeknya bertahun-tahun lalu. Hingga saat ini ia tidak mencintai ruang lingkupnya sendiri. Payah, seharusnya ia memilih memperjuangkan mimpinya.
Tapi, toh itu semua tidak akan merubah takdir yang sudah digariskan untuknya di masa lalu. Masa depannya tetap bisa Asyifa putuskan bagaimana arah dan tujuannya. Bahagia atau suramkah? Ia tidak ingin melewati masa bahagianya dengan kesuraman belaka.
Beberapa menit kemudian pria  yang Asyifa tunggu masuk ke dalam dan duduk di samping kirinya. Kedua pipinya merona hebat saat langkah pria itu mendaratkan diri di bangku. Karismatiknya sudah dapat ia deteksi saat pria itu berada di depan pintu. Asyifa merasa nyaman ketika pria itu ada di dekatnya dan membuka buku fisika juga.
“Mau belajar bersama?” pria itu menawarkan dengan santun.
Alamak, ini mimpi bukan? Asyifa benar-benar bersama pria itu. Otaknya mendadak konslet seketika dan membalikkan sakelar otomatis tentang fisika. Sedangkan ruang hati turut mendukung terang-terangan kehadiran pria itu. Apalagi pria itu memastikan mereka untuk belajar bersama. Ia memerhatikan dengan saksama apa yang diajarkan pria tersebut padanya.
Tetapi kebahagiannya tidak berlangsung lama. Pria itu dipanggil orang untuk melaksanakan sebuah tugas yang penting. Asyifa sedikit kecewa dengan keadaan yang dihadirkan saat ini. “Mana Faiz?” tanyanya pada yang lain. Teman-temannya menyuruh Asyifa mengecek sendiri keberadaan pria itu.
Asyifa melihat Faiz sedang berada di kapal memakai jeket hitam tebal dan ditemani burung-burung yang sedang terbang di atasnya. Serta ada beberapa orang-orang asing lainnya di sekitarnya melalui instagram. Beberapa bangunan kasual di belangkangnya terlihat elegan. Riakan air jernih begitu tenang membawa mereka pergi. Ia tahu ke mana prianya pergi. Tempat yang jauh untuk menimba ilmu. Asyifa hanya bisa menahan luapan kebahagiannya sejenak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikhlaskan apa yang terjadi.
Keesokan harinya Asyifa mengendarai sepedanya di pagi hari seraya menikmati nikmat sehat yang Allah berikan padanya. Udara segar yang memasuki sistem pernapasan tiada bandingnya dari udara manapun. Ia mengenakan pakaian training senyaman mungkin untuk memberikan ruangan bebas pergerakan tubuhnya. Ekor matanya menyelisik setiap halaman beberapa rumah telihat indah dengan taman-taman yang disedikan empunya sebagai ruang penyejuk pandangan. “Itu rumah Faiz Haikal,” gumam Asyifa dalam hatinya. Ia hanya punya harap-harap menjaga dalam dadanya. Tentang kebahagiannya yang lindap kembali.
Asyifa membuka matanya. Ia melihat jam dinding yang sedang berdetak dengan ritme tertentu. Serta cahaya benderang buatan yang masuk ke retina mata. “Ah, sudah jam dua ternyata,” ia menepuk jidatnya dan menyingkirkan bantal guling yang sedang dipeluknya. Ada sayup-sayup kesal di rongga dadanya. Tentang penyesalannya yang tidak bangun lebih awal tadi. Ia telah kehilangan seratus bintangnya. Menyebalkan sekali.
Ia melihat sekeliling katilnya yang tidak ada siapa-siapa selain bantal guling.
“Enggak solat Fa?” tanya Mama yang sedang mondar-mandir memecah keheningan malam.
Asyifa hanya ingin membungkam sejenak tentang keimanan dalam dirinya. Sebab perjanjian dalam dirinya mengerjakan suatu persoalan. Ia sangat bersyukur melihat mamanya seperti ini. Tapi untuk hatinya sendiri. Ah, ia perlu banyak waktu untuk menyetel ulang rasa tentram dalam dirinya. “Kalau Mama?” tanyanya balik.
“Ya udah duluanlah Fa,” ucapnya seraya bergantian merebahkan diri di atas katil Asyifa.
Ada rasa berat hati yang menggerogiti hati Asyifa. Ia tidak punya hasrat untuk bertemu Tuhan di sepertiga malam. Baginya ruang kosong yang yang kering kerontang ini masih ingin terus ia pupuk untuk sementara waktu. Ada baiknya memejamkan mata kembali. Meskipun kesadarannya masih setengah. Ia mencoba menyingkirkan perasaan lainnya ketika bangun tadi semoga saja ingatan apalah itu lenyap seketika. Bermimpi setiap kali tidur itu terasa menyebalkan. Seolah tidak ada waktu tidur yang berkualitas bagi dirinya.
Asyifa bangun lagi seraya menerka dirinya pasti bangun kesiangan. Mungkin saja pukul tujuh atau setengah delapan. Namun cahaya lampu tidak mungkin membohongi dirinya. Ia yakin sekali ini bukan jam biasa. Kedua bola matanya membulat seketika ketika melihat jarum panjang tersebut berhimpitan di angka enam. Itu tandanya ini masih setengah enam.
Setelah melihat samping kanannya, ia melihat Mama sedang memenuhi kewajiban solat subuh dengan khusyuk. Buru-buru ia bangkit dan melakukan hal yang sama. Kemudian melirik ventilasi udara ruang tamu yang mengisyaratkan suasana fajar. Asyifa segera berwudhu dan mengerjakan kewajibannya juga.
Asyifa duduk di meja belajar dan mengambil buku referensi tugas kuliahnya. Baru membuka halaman pertama, ia baru sadar bahwa solat tadi merupakan waktu yang langkah bagi dirinya. Kali pertama setelah beberapa hari yang lalu. Ia agak sedikit khusyuk mengerjakannya.
Tidak hanya satu keheranan itu yang mengendap dalam dada. Tetapi hatinya yang menyimpan bongkahan sesuatu. Ingatan tentang pria itu membuat setruman saraf motoriknya aktif. Ah, Asyifa merasa tidak percaya ia bisa memimpikannya. Ini juga kali pertama bagi dirinya setelah sekian lama ia mengikrarkan dalam diri bahwa pria itu merupakan tokoh idolanya. Pemikiran usilnya pun mengatakan ini merupakan suatu petunjuk bahwa Asyifa harus berubah. Bisa jadi sebagai isyarat bujuk membujuk menjadi pribadi yang baik sebagaimana biasanya.
“Kau kerjainlah soalmu. Kau tengok tuh yang lain udah pada tamat sedangkan kau sendiri masig gitu-gitu aja. Sudah berapa soal?” tagih Mama di belakang Asyifa.
Asyifa masih memandangi rententan huruf di hadapannya. “Delapan Ma.”
“Baru delapan. Bagus kali ya. Ngapain aja?” tanya ulang Mama lagi menegaskan ketidakbecusan Asifa.
“Yaudah Mama aja yang ngelanjuti soalnya.” Asyifa tahu benar apa yang ia perbuat. Ia telah melewati fase galau mengerjakan ini semua. Menyebalkan sekali. Entah berapa banyak waktu yang sudah ia habiskan untuk mengerjakan ini semua. Otaknya terasa dangkal ketika mendapatkan revisi yang ini.
Bila menangis pun tidak akan mengubah segalanya. Sedangkan hatinya sudah sangat kecewa setelah terombang-ambing tak tentu arah. Asyifa tidak tahu ke mana lagi ia harus membawa rasa sedih yang bercokol hanya tidak bisa mengerjakan soal. Namun mimpi tadi pagi seolah ingin mengatakan bahwa ia pasti bisa mengerjakannya. Entahlah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Bersambung

Rasian Dini Hari

Sebelumnya terima kasih teman-teman yang sudah mampir ke cerita ini. Sesuai dengan yang permintaan teman-teman sekalian yang akan membaca cerita ini via website. Akhirnya saya memutuskan untuk mempostingnya di sini. Yeay, ulala. Tenang, cerita ini masih fresh kok. Belum pernah dipublikasikan orang lain. Jadi, mohon sekali jangan diplagiatin ya hiks. Apalagi membuat penulis menderita. #plak. Jadi, jangan lupa dukungannya ya. Eh, kok jadi kompetisi pemilihan idol sih. Oke-oke kembali ke laptop. 

Blurb 
Rasian Dini Hari-- Tidak semua orang bisa selalu bermimpi. Namun bagaimana Asyifa Qalbi yang kerap menemukan dirinya bermimpi setiap harinya dan tak jarang menjadi sebuah jawaban tersendiri atas hari-hari yang ia lalui. Untuk pertama kalinya ia memimpikan seseorang yang sangat ingin ia impikan. Sayangnya, ia mendalihkan dirinya tengah menghayal yang bukan-bukan perihal mustahil bagi dirinya.

Oke, itu masih blurbnya ya. Kalau sinopsisnya masih rahasia sih. Pasti kalian akan mengetahuinya setelah membacanya. Hehe ... Kan tidak mungkin juga sebuah cerita tanpa sinopsis. Tenang, nanti akan saya buat sinopsisnya ketika dicetak nanti. #Plak. Ya, kalau ada yang minang nanti. Tapi lihat nanti aja deh. Mau dibawa ke mana status cerita ini. 

Cerita ini saya tuliskan dengan sepenuh hati dan niat keikhlasan dengan semata-mata saling berbagi. Kebahagian bagi saya adalah ketika kalian bisa membacanya dan bisa berkomentar pula. Selamat membaca. Akan diupdate secara berkala tiga hari sekali. Jadi dalam tiga hari sekali kalian bisalah menuangkan waktu paling lama lima belas menit untuk membaca cerita ini setiap episodenya. 


Harumpuspita