Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Banten dan Kesenian Debus yang Tak Pernah Jauh

Banten dan Kesenian Debus yang Tak Pernah Jauh
Ilustrasi Kesenian Debus dari Banten

Aku berusaha menyisir rambut malam ini, sembari mengingat sejenak tentang tetanggaku. Kenapa, kenapa harus tetanggaku dari semua tentang ingatan yang ada episode kehidupan? Karena kak Kholi yang merupakan Pejuang Pemburu Lomba sedang menyelesaikan naskah cerita pendeknya tentang Banten. 

Saat kutahu ia menuliskan daftar tulisan apa yang sedang digarapnya hari ini. Aku merasa bisa ikut menyusulnya dikarenakan selama ini hobiku berkelana dengan hal fiksi. Hanya saja, itu sudah lama sekali. Aku bahkan sempat kehilangan cara bagaimana harus memulainya kembali. Itu fase yang paling sulit setelah sekian lama tidak menulis kembali. Tidak ingin membuang waktu, kupaksakan jariku untuk mengetikkan sesuatu hingga akhirnya terbentuk paragraf tentang kisah yang bertemakan tentang Banten.

Hal yang kutahu dulunya tetanggaku merupakan orang Banten. Tema yang digarap Kak Kholi kali ini sangat menarik. Katanya ia sudah cukup memiliki banyak data untuk menuliskan kisahnya dalam sebuah cerita pendek. Sementara aku sudah demam duluan kalau urusan riset meriset di waktu yang sangat sempit. Sebal, belum juga dimulai sudah kalah duluan. 

Setelah kepikiran menulis artikel tentang pesona budaya Indonesia, semakin besar pula rasa ingin tahuku tentang Budaya lainnya. Nggak usah jauh-jauh, mulai dari tetangga yang dekat dulu.  Budaya setiap orang berbeda-beda. Hingga ingatanku menjejak pada tradisi di masa silam yang pernah kutahu. Salah satunya debus.

"Sedang lihat apa Arumi?" tanya Mama penasaran. Kedua bola matanya memantau layar gawaiku sore ini.

"Ini Ma debus," ucapku gamblang. Padahal dulunya semasa kecil. Kalau ada atraksi debus, bukannya aku malah lari ya? Hanya menikmati keheboan dari pengeras suara belaka. Soalnya kelihatannya seram sekali. Adegan yang berdarah-darah itu membuatku tak berani mendekati sama sekali. 
Mama melihatnya dan aku penasaran dengan bagaimana prosesnya bisa seperti itu. Apa hebatnya dengan debus? Debus juga pernah dimainkan di daerah kami. Jadi, kupikir budaya yang seperti itu sepertinya berkeliling untuk memperkenalkan budaya luar sebenarnya. Hanya saja, namanya anak-anak, "manalah kutahu." Melihat, tanpa memahami dan mempraktikkan tanpa tahu bagaimana resikonya. 
"Ih, serem banget Arumi. Itu pakai endang loh makanya bisa begitu. Kalau orang biasa saja bisa gawat."
Aku pun juga setuju mengangguk, beberapa kesenian yang serupa juga menggunakan energi tak kasat mata dalam atraksinya. Makhluk yang tak kasat mata merasuki diri, tapi apakah benar? Saking penasarannya aku mencari tahu asal-usul debus yang ternyata berasal dari Banten. Banten? Oh, tetanggaku dulunya mah orang Banten.

Ternyata, kesenian debus ini ada sejak abab ke-16, pada masa pemerintahannya Maulana Hasanuddin dari Banten. Tepatnya pada tahun 1532-1570 sebagai sarana dalam menyebarkan Agama Islam. Yah, intinya untuk menjadi pemain debus juga harus melalui beragam ritual. Bedanya mereka itu dengan mantra bahasa Arab seperti selawatan salah satunya. 

Masih penasaran dengan pelaku sang debus. Pencarianku di aplikasi merah sampai pada sebuah judul video "Nyawa Taruhannya! Pengakuan Pelaku Kesenian Debus". Sang Narasumber mulai bercerita pengalamannya selama ini. "Saya tuh, sebelum terjun di dunia debus ya berguru sama Abah dari satu gunung kemudian baca selawat. Setelah itu shalat Hajat."

Deg! Shalat Hajat? Seakan ada ingatan yang lain dalam benakku yang tidak asing. Tentang malam-malam yang dulunya pernah kujalani, tapi ya enggak minta yang aneh-aneh kok. Hanya saja, aku tuh enggak ada gurunya saja. Enggak, enggak. Ingatan itu hanyalah masa lalu yang enggak ada maknanya sama sekali. Yah, intinya kesenian Debus ini merupakan sebuah atraksi Ilmu kebal saja.

Perjalanan ceritanya sangat menarik. Sayang sekali baterai gawaiku sudah sekarat. Harus kuakhiri berselancar di dunia maya kali ini. Mungkin sudah waktunya aku melanjutkan ceritaku yang belum usai. Tentang tetanggaku yang kini sudah tidak tinggal lagi di sebelah rumahku. Rumah itu sudah lama kosong dan aku selalu menunggu. Siapakah tetangga yang beruntung menjadi tetanggaku. Katanya, jika ingin tinggal di suatu tempat. Maka perhatikan tetangganya.  
Aku percaya, tetangga adalah salah satu orang yang terdekat dengan kita. Apalagi tetangga depan rumah. Salah satu penghuni rumah itu dulunya ada yang sebaya denganku. Namanya Iqbal. Sejak kecil kami selalu bermain bersama. Walaupun dia dan aku berbeda jenis kelamin. 

"Ma, dulu Arumi tomboi ya?" tanyaku mengklarifikasi. 

"Enggak kok Arumi."

"Iyalah Ma. Potongan rambut Arumi aja pendek. Hobinya manjat pohon lagi, terus main perang-perangan sama Iqbal." Mana bisa aku melupakan masa-masa indah senyum bahagia. Eh, kok malah jadi mengikuti soundtrack lagu. 

"Oh, yang dulu Mama sering jemputi kalau kamu enggak ada di rumah saat hari Minggu. Sudah pastilah, ke mana lagi kalau bukan ke tetangga sebelah."
"Ma, kenapa sih Mama sering banget bilangi tetangga itu Banten?" Harusnya pertanyaan itu kujawab duluan di mana letaknya Banten itu. 

"Memang tetangga kita itu orang Banten Arumi."

Aku ber-oh ria seketika. Banten yang dalam pikiranku tempatnya sangat jauh sekali. Katanya Iqbal sudah pindah ke Banten sejak aku menginjakkan usia dua belas tahun. Teman masa kecilku. Setahuku letak Banten itu di Ujung Barat Pulau Jawa, Indonesia. Tiada harapan untuk bertemu dengannya, itulah yang tersimpan dalam benakku. Ia sudah jauh sekali dari pandanganku. Apalagi setelah yang punya rumah meninggal dunia. Terus disusul juga anaknya. Rumah itu seakan memiliki misteri tersendiri. Entah mungkin karena memang takdir dunia atau mungkin ada sesuatu yang janggal.

Aku menghela napas dan mengumpulkan energi malam ini. Kulihat postingan populer minggu ini salah satunya adalah Batik Bantengan. Sebuah motif Batik yang terinspirasi dari kesenian Bantengan dari Jawa Timur. Yah, mode atraksi yang mengundang keramaian juga. Seingatku, sewaktu merisetnya. Aku juga nggak bisa tidur memikirkan bagaimana bisa Kesenian ini diaplikasikan ke dalam sebuah batik. Apalagi demam juga ikutan melanda sebelum memulainya. Lagi-lagi ketakutan sebelum memulai selalu menjadi musuh alami bagi diriku sebagai seorang penulis. 

Setelah kucari lagi bentuk motifnya seperti apa. Aku terpukau seketika. Wuah, ternyata begitu indah sekali. Padahal awalnya Kesenian Bantengan ini juga kelihatan seram juga. Eh, kok bisa ya disulap menjadi sesuatu yang lebih indah di pandangan mata dan bisa digunakan sebagai identitas lokal. Apalagi setelah ia mampu membuatnya hingga ke kancah Internasional dan menghasilkan pundi-pundi yang lumayan untuk menyejahterakan warga setempat. 

Penasaran dengan batik ini. Aku segera mengarahkan pencarian ke sumber pencarian dengan kata kunci 'Motif Batik Banten'. Ternyata karakteristiknya yang mode cerah gitu. Menurut ringkasan AI sendiri Batik Banten kaya akan motif yang terinspirasi dari peninggalan Sejarah Kesultanan Banten, seperti Pameranggen, Datulaya, dan Pasepen. Seketika pengetahuanku semakin bertambah dan menarik perhatian menjadikan Sejarah ini sebagai kisah yang patut dikombinasi dengan cerita masa kini. Yah, hitung-hitung menelusuri sejarah lewat cerita.

"Ma, gimana kalau kesenian Debus ini jadi ide Batik Banten. Pasti keren juga?"
Mama mengerutkan dahi. "Ada-ada aja dirimu Arumi. Batik itu kan ada ragamnya sendiri. Masa buat-buat sendiri." 

"Yeh, Mama nih. Kalau berkreasi kan tanpa batas ya. Biasanya orang seni itu idenya memang di luar parkiran. Eh, di luar dugaan maksudnya. Pameran kemarin aja yang cuma abstrak doang bisa jadi terkenal. Soalnya kan setiap seni pasti punya pesannya sendiri dalam menyampaikan makna."

"Biasanya tuh kan Arumi. Kalau yang ngusulin ide, berarti dia sendiri yang bakalan mewujudkannya."

"Enggaklah Ma, enggak harus kok. Sekarang ini ada juga kok yang kerjaannya tukang ngide. Terus yang laksanakan orang lain. Kalau menunggu apa-apa bisa diwujudkan, yah entah sampai kapan. Soalnya keahlian setiap orang itu beda-beda Ma," ucapku percaya diri. Tumben Mama asyik diajakin ngobrol malam ini. 

"Yah, kalau ada yang nampung itu bagus banget Arumi."

"Begitulah Ma."

Baru-baru ini aku baru menyadari. Terkadang ada sebuah tempat yang hanya menjadi sebuah julukan belaka. Kupikir, aku tidak akan pernah menemukan Iqbal di masa depanku. Banten yang dimaksud adalah Jalan Banten. Letaknya tidak jauh dari rumahku jika mengenakan sepeda motor. Sekitar dua puluh menit dari rumah. 

"Ma, ternyata Jalan Banten itu letaknya di Pasar 4 Helvetia. ya."

"Iya Arumi. Kok tahu?"

"Kan Arumi SMA-nya di daerah sana. Teman-teman tinggalnya juga sekitaran sana."
Saat ini, setiap lewat ke arah sana. Aku selalu melirik dagangan keluarga Iqbal yang berjualan Mie Balap. Kadang-kadang dia hadir di sana membantu kedua orangtuanya. Sayang, sampai saat ini aku belum berani untuk menyapanya. Semoga suatu hari nanti kami bisa saling menyapa kembali. 


Glosarium 

Endang : sebutan orang Jawa memiliki makna panggilan roh

Serba-Serbi Drama Menulis

Kalau dilihat dari judulnya saja, sudah jelas banget ini namanya uji nyali kalau di saya. Alih-alih kebiasaan nulis bab novel setiap harinya, malah percobaan nulis cerpen di waktu yang mepet deadline. Pengalaman juga bukan sekali, tapi juga beberapa kali. Tulisan ini tuh awalnya memang diperuntukkan untuk mengikuti lomba cerpen yang diadakan di Pemerintahan kota Banten. 

Menurut pengalaman kalau hari terakhir tanggal 10 misalnya. Maka bukan berarti jam 23:59 WIB penutupannya seperti yang biasa kita lalui. Bisa saja di mereka jam 10 pagi, jam dua siang. Pokoknya ya suka-suka merekalah. Belum lagi harus beli materai dan yap harga materai udah bisa beli semangkok bakso atau sebungkus nasi padang yang lauknya telur. Jadi, sebelum masuk ke proses itu. Lihat dulu di Instagram peyelenggara, rupanya banyak yang protes nggak bisa ngirim. Alias ditutup. Selamat deh, nggak jadi beli materai dan akhirnya saya putuskan untuk mengunggahnya di sini. 
Sebenarnya ada juga yang unik saat saya meriset sebelum menulis cerpen ini, tapi nggak jadi dimasukan dalam cerita, yaitu tanggapan dari si Pesulap Merah, dia sempat bilang Kenapa ada orang tuh lidahnya dikasih pedang, kok enggak berdarah? Ya, karena itu dia mau ngasih tahu kalau lidah itu lebih tajam daripada pedang. 
Yah, kalau dipikir-pikir iya juga sih. 

Pejuang Rupiah VS Ikan Pecah Perut

Ilustrasi Pejuang Rupiah VS Ikan Pecah Perut
Ilustrasi Ilustrasi Pejuang Rupiah VS Ikan Pecah Perut

Kedua kelopak mataku berat, sungguh berat sekali sore ini. Padahal Maghrib juga belum usai. Tidak, aku belum boleh tidur. Masih banyak serangkaian produktivitas yang harus kukerjakan. Rasanya jenuh sekali. Bagaimana bisa, di saat kurang tidur seperti ini. Ujian malah datang sesuka hati. Siapa yang tak bete coba. Tiba-tiba sesuatu yang diharapkan justru berbalik arah. Seharusnya aku sudah beristirahat sebelum Maghrib tiba. Namun yang kudapati, aku mendapatkan pekerjaan tambahan. Bu Mia tak datang. Katanya ia sedang tidak enak badan. Yah, aku juga sama. Bedanya kupaksakan saja.

Astaghfirullah …” Aku mencoba menghela napas, menghidu oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-paru. Rasanya, jari-jariku gemetaran untuk menulis. Sudah lama sekali tidak menulis, rangkaian kisah penuh tanya dan mengabadikannya dalam jejeran aksara.

Aku mengambil tas sampir merah jambuku. Sebuah tas legenderis yang diberikan Ibu Sumi, salah satu guru senior yang ada di sekolah Tadinya Mesra dua tahun lalu. Tepat, dua bulan setelah aku memutuskan mengundurkan diri dari sekolah itu. Tak kusangka, takdir justru membawaku kembali ke sekolah itu. Sekolah yang kupikir bukan menjadi ranahku untuk menghidupi diri selain mencerdaskan anak bangsa.

Kini kuhitung satu per satu lembaran rupiah yang baru saja kudapatkan karena menggantikan temanku hari ini. Lembaran yang sudah lama tidak pernah kupegang kembali setelah delapan bulan lalu. Aku resmi menjadi pengangguran pada waktu itu. Atas dalih memulihkan diri. Setelah sakit yang menerpa diriku.

Bagi sebagian orang. Uang tampaknya adalah hal yang paling mudah didapat. Sementara bagi diriku, uang adalah sesuatu yang bisa pergi kapan saja. Namun untuk mendapatkannya, tampaknya aku tak boleh memberikan ruang harapan yang besar. Katanya, perempuan tak perlu terlalu memusingkan mencari nafkah. Sebab ia ditakdirkan sebagai tulang rusuk kehidupan. Bukannya tulang punggung keluarga.

Aku sungguh percaya akan hal itu. Sebab, sebagaimana pun aku berusaha mencari nafkah untuk menghidupi diriku. Ujung-ujungnya aku berada di barisan penerima nafkah. Suatu hari nanti, suatu waktu yang tidak kutahu kapan itu kedatangannya. Bisa itu dalam waktu dekat ataupun dalam waktu yang tidak ditentukan.

“Pi, Pi. Calon suamimu itu ya hitam,” ucap Mama malam ini.

“Ya, enggak apa-apa Ma. Walaupun hitam, dia itu manis dan paling penting dia mau samaku loh Ma. Percuma Ma, mau cakep ataupun kaya raya. Kalau enggak mau samaku sama aja.”

“Iya ya Pi. Namanya kau cinta sama dia. Makanya kau bilang dia ganteng.”

Bagiku, untuk membuat orang lain menjadi kelihatan lebih tampan adalah dengan tidak melihat orang lain. Aku tidak memandang sisi itu dari calon suamiku itu. Namun sisi yang berbeda, saat aku memutuskan untuk mendekatinya lebih dahulu. Sebelum kubuka ruang lebar-lebar. “Aku saja tidak menyangka Ma. Akhirnya setelah sekian lama. Justru karena pengangguran inilah aku bisa menemukannya. Kalau enggak pun. Sampai sekarang aku hobinya kerja terus.” Yah kadangkala bukannya kerja yang dibayar, melainkan seringnya bekerja tanpa pamrih.

“Iya, itu gimana ceritanya Pia. Kok bisa dia mau samamu.”

“Panjanglah Ma ceritanya, tapi intinya begitu. Hubungan itu memang harus saling memperjuangkan. Buktinya dia datang ke rumah duluan kan. Beda dari yang lain. Enggak kunjung datang, walaupun sudah terlanjur nyaman.” Sungguh, aku tidak mungkin menceritakan skenario panjang bagaimana bisa aku sedang dalam fase berusaha saling mengenal sebelum ke jenjang berikutnya. Rasanya seperti lorong waktu yang hendak disusuri. Namun yang pasti aku belajar arti kesederhanaan, kerja keras, dan rasa syukur darinya. Salah satu poin yang membuatku tertarik dengannya adalah ketika aku mendengar ia mampu mengolah keuangan. Menarik juga.

Ingatanku kembali pada percakapanku dengan Ibu Sinta, temannya Ibu Sumi siang tadi sebelum masuk kelas. Kami berbincang tentang satu hal. Bagaimana tentang kehidupan rumah tangga era saat ini.

“Kamu gimana Pia. Dia gajinya berapa?”

“Tiga juta Bu,” ucapku yakin. Seingatku itu yang pernah ia ucapkan pada Mama ketika pertama kali datang ke rumah. Sejujurnya menanyakan gaji adalah hal yang sensitif. Namun bagi seorang pria, itu yang selalu ditanyakan di saat pertama kali hendak mendekati wanitanya. Apakah ini bagian dari skenario matre? Tentu tidak. Pada kehidupan yang serba tidak pasti ini. Orang-orang selalu mencoba untuk realistis.

“Oh. Gitu ya Pia. Kalau begitu, kamu juga harus bantu dia. Tiga juta sebenarnya enggak cukup kalau berkeluarga. Dianya satu juta. Kamunya dua juta. Kalau makan ya ala kadarnya Pia. Soalnya apa-apa itu serba mahal. Apalagi kalau kalian tinggalnya nyewa.”

Tunggu-tunggu, sebentar. Mamaku selama ini juga hanya diberikan dua juta per bulan oleh ayah. “Pantesan Bu. Mama hanya sanggup membeli ikan pecah perut.” Ikan pecah perut, jelas bukanlah ikan yang segar. “Sayangnya ayah selalu menuntut makan-makanan yang enak. Kalau Pia Bu, untuk memberikan pengertian. Ajak ayah belanja, daripada Pia dikasih uang. Supaya mengerti gitu.”

Ibu Sinta tertawa. “Iyalah Pia. Makanya hanya bisa ikan pecah perut. Terus bayam sama terilah.”

“Itulah Bu, untuk menghadapi itu Pia belajar menanam buat suatu hari nanti kalau lagi masa kritisnya. Kalau bisa sekalian pu melihara ikan.” Aku teringat, bagaimana calon Suamiku berusaha untuk menghemat pengeluarannya. Alih-alih ia seolah pelit terhadap dirinya sendiri. Kadangkala, sering kusaksikan ia harus bergerumul ria dengan teriknya panas ataupun dengan beban berat yang menopang tubuhnya. Ia tidak gengsian. Saat teman-temannya sudah berumur dan berkeluarga. Meski ia hanya seorang buruh dan aku seorang guru. Bagiku dia juga merupakan guru kehidupan juga.

“Nah, itu Pia. Kau kan pintar. Bisa nyari dari mana saja.”

Lagi-lagi, julukan itu selalu yang menjadi kartu As orang lain untuk menyarankanku akan suatu hal. “Iya Bu. Sebelum Pia menikah nanti, Pia sedang mempersiapkannya saat ini. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti berpenghasilannya.”

“Nah, makanya itu yang konten kreator aja pun jadi pengusaha rata-rata.” Ibu Sinta menunjukkan orang-orang dengan jumlah pengikut banyak yang memberikan sebuah postingan sebuah penghasilan dari konten.

“Pia sebenarnya begitu juga, cuma lagi fokus di tulisan saja. Katanya buat penghasilan tiga bulan per bulan itu harus menulis sebanyak 1000 artikel. Pantesan, mereka itu ya Bu postingannya bisa sampai ribuan juga. Makanya bisa mengumrohkan anggotanya.” Baiklah mimpi saja terus Pia. Padahal selama ini, rekam jejakku tidak menghasilkan apa-apa. Selain hinaan karena disangka pengangguran hanya di depan laptop menulis artikel di blog yang dibangun sendiri.

“Nah, itulah Pia. Pesan ibu gitu. Kamu sebaiknya bisa bantu suamimu itu kalau mau hidup yang penuh dengan gizi. Pintar-pintarlah.”

Aku mengangguk dan memutuskan kembali ke kelas untuk mengajar anak-anak. Meski rasanya panas dingin, tapi beginilah pejuang rupiah itu.

SELESAI

Proses Kreatif Penulisan Cerpen

Sebenarnya ini termasuk cerita pendek yang seumpama seperti cara menulis novel biasanya. Idenya tiba-tiba terlintas begitu saja melalui skenario kehidupan yah bisa diambil bagiannya. Sekali lagi, saya modal nekat dalam menuliskannya. Eh, hasilnya jadi juga. 
Sayang, sebelum tulisan ini dikirimkan ke ajang lomba yang masih berafiliasi pemerintah. Eh, malahan ditutup duluan. Yah, daripada sayang hanya disimpan dalam draft. Saya unggah saja di blog sendiri. 

Air Mata Penulis oleh Harumpuspita

Air Mata Penulis By Harumpuspita

Ada yang lebih gemilang dari sekadar kata-kata membangun. Ialah perkara perjuangannya menghadapi kehidupan atau mencapai cita-citanya. Jika kebanyakan orang melihat puncak yang tinggi untuk mengukur kesuksesan seseorang. Maka izinkanlah seseorang itu menyaksikan perjuangan yang berbeda dari teman-teman yang lain.

“Bu, saya izin pakai tempatnya dulu ya,” ucapku pada ibu penjaga sekolah. Kucolokkan kabel penghubung listrik ke stop kontak. Kuatur sedemikian rupa meja guru supaya nyaman digunakan dan kubuka  aplikasi berselancar internet setelah memastikan terhubung dengan wifi. Begitu yang kulakukan setiap kali pulang sekolah atau di saat libur telah tiba. Aku memutuskan untuk mencari penghasilan tambahan sebagai blogger dibandingkan hanya mengandalkan gaji honorer. Lagi pula, pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak waktu itu bisa menyediakan waktu menulis untuk orang lain.

Bila orang lain mencari pemasukan dengan bisnis dan urusan lainnya. Aku menggunakan proses berpikir kreatif yang kupikir lebih minim pengeluaran. Tak peduli bagaimana mereka melarangku melakukan hal ini. Aku hanya menyukainya dan berani memperjuangkannya walau hingga kini hasilnya belum kelihatan di mata mereka.

“Iya Ni, pakai saja. Nanti kalau sudah selesai dikunci lagi yang pintunya. Sama ibu aman. Santai,” ucap Ibu Ita menenangkan. Meski kami baru mengenal setahun, tapi begitu dekat. Apalagi dengan temanku Dwi juga sesama honorer. Sikap saling melindungi membuat kami bertahan walaupun gaji terkadang belum bisa dianggap aman untuk kehidupan sendirian.

*

“Apa yang kau cari Ni? Ngajar di situ hanya buat kau terpuruk. Mending pindah tempat lain sajalah. Orang lain saja hijrah kalau enggak ada penghasilan. Lah, kau tetap bertahan di situ aja. Cemanalah hidupmu kalau enggak ada peningkatan,” ucap abangku saat aku baru saja pulang.

Aku meletakkan sepatu ke rak dan memasukkan kunci ke dalam tas goni. Sejujurnya aku menyukai hal ini. Alasanku dulu menerima menjadi guru honorer sekolah dasar adalah supaya tidak disangka pengangguran saja. Padahal setiap harinya, aku mencari rezeki dengan cara menulis, membaca, dan mengkreasikan sesuatu yang kubisa. Proses supaya bisa masuk ke sana hanya modal datang saja dan menyerahkan lamaran. Rupanya aku diterima walaupun posisinya belum memiliki ijazah sarjana.

Tak ingin aku mendebat apa yang diucapkan abangku bahkan keluargaku. Diam adalah solusi supaya tidak terjadi perang dunia.

Aku tahu, punya perjalanan hidup bukan keinginan orang tua adalah hal tersulit dalam kehidupan. Bahkan dalam hal rezeki pun banyak yang mempraktikkan radar sulit. Aku dulu juga begitu, pernah menangis di saat orang mencapai impiannya. Sedangkan aku tidak. Boro-boro menghasilkan uang. Punya pembaca saja sudah sangat bersyukur. Kini perjuangan menulis lebih berat lagi. Dilarang dan dikucilkan sudah menjadi makanan sehari-hari.

“Ah, ntah apa yang kau kerjakan Ni. Jangan kau menghayal saja. Enggak ada gunanya itu. Kalau terpuruk terus hidupmu, terserah kau ajalah.”

Ia menyerah dan aku akhirnya ada perasaan lega yang menyelinap. Lalu pada bulan kemudian ayahku bertanya padaku setelah aku diam tanpa suara selama dua minggu lamanya. Kasusnya serupa, masih kudengar kata paling pahit dalam hidupku saat kuberikan panggilan telepon kepada Mama.

“Hallo Di. Ah, iya nih. Adikmu sudah kami cegah. Kami kasih obat sebelum malam. Jam enam sore kami kasih dia obat supaya tidak bisa menulis lagi.”

Lututku begitu lemas, menyadari kenyataan yang terjadi. Walaupun memang sebelumnya aku menyadari hal seperti itu. Hanya saja selama ini prasangkaku berusaha positif. Mungkin bukan itu maksud mereka. Aku semakin diam, menangis dalam kebisuan dan tak berani melawan. Sebab melawan hanya disangkanya aku sebagai orang gila. Bagiku, orang gila sesungguhnya adalah orang yang mengatakan orang waras sebagai orang gila.

Inilah rahasiaku, tetap patuh. Meski larangan itu terus menghampiri. Berusaha tuli dengan semua omongan yang menjatuhkan. Lagi pula, apa salahnya menulis? Aku tak menghina siapa pun bahkan tak menggunjing siapapun. Sesuatu yang kutulis adalah peleraian kata, mencari solusi, dan beragam hal lainnya. Kalau aku mau, aku ingin keluar dari rumah ini dan dinikahi oleh lelaki baik yang mendukung impianku. Namu aku menyadari, jangankan menginginkan hal seperti itu, didekati oleh lelaki yang seperti itu pun belum ada. Maka, bersabar dan tahan. Barangkali ada sesuatu lain yang bisa kulakukan untuk membuat hati tenang dan ikhlas atas segalanya.

“Jadi, kamu mau apa sekarang?” tanya Ayah menatapku di waktu duha dan menyadari aku telah mendiami seluruh keluarga seminggu lebih.

“Ni mau jadi penulis seperti Buya Hamka, Ayah … Ni, mau jadi penulis aja, enggak mau yang lain,” ucapku di pangkuannya seraya mengalirkan air mata yang sudah menggenang. Padahal di sebalik keinginanku menjadi penulis, juga menjadi dosen suatu hari nanti. Aku tahu mereka pun juga akan melarang dengan alasan tidak ada biaya. Sulit, inilah cinta yang kuperjuangkan. Bagiku indah, meski entah berapa kali air mata yang keluar. Kadang duka, kadang haru. Aku tak mau mengulangi kesalahan seperti dulu, mengikuti keinginan orang tua yang tidak kusuka. Pada akhirnya sakit-sakitan hampir tujuh tahun dan hati meringis. Gelap, itulah duniaku kala itu. Mengikuti perintah untuk tidak bermimpi tinggi-tinggi.

Ketidakinginan memiliki mimpi hanya membuatku buta tentang arah yang dituju. Namun semenjak aku bertemu dengan lelaki fajar tahun 2019, sejak saat itu aku punya mimpi kembali. Tak peduli kata mereka, selagi itu baik akan terus kuperjuangkan. Kini lelaki fajar itu memang tak tampak lagi. Namun kalimat perjuangan yang kudengar selalu menjadi amunisi untuk tetap tegar. “Ni, kita harus punya impian yang tinggi. Tidak ada siapa pun yang boleh mencegah impian kita.” Begitulah katanya, merespon pertanyaanku tentang impianku yang tak didukung.

*

“Ni, makasih ya sudah menggantikan Ibu selama dua hari. Nanti kalau ibu minta tolong lagi, bantuin ya.” Ibu Nia menyalamiku selembar kertas berwarna biru. Sebagai tanda usai kalau aku sudah menggantikan kelasnya. Tak banyak bicara, aku segera menghampiri Dwi di kelas sebelah.

Aku melakukannya dan kebanyakan kuterima mengingat mencari uang seribu rupiah dengan cara halal itu susah. Namun karena memang tidak digaji sampai tiga bulan. Hal yang paling rendah sekalipun aku bersedia. Hatiku tak cukup kuat untuk menyesuaikan keadaan dengan apa yang kuazamkan waktu dulu.

 Menulis? Hampir setengah tahun aku tidak bisa melakukan rutinitas itu lagi. Sejujurnya aku rindu. Berusaha memaksa di sekolah membawa laptop pun percuma. Siswaku tidak bisa diam, disuruh jangan menyentuh barangku. Malah semakin didekati dan entah apa-apa yang dipegang. Alhasil, salah satu tombol keyboard nyaris tak bisa digunakan.

Ibu Arini ternyata sedang bersama Dwi. Ia menyuruhku untuk menandatangani nominal uang yang akan diterima. Setelah diterima ternyata hasilnya berkurang dari apa yang tertulis. Sejujurnya aku bingung saja, Ibu tak menjelaskan sama sekali. Ah, barangkali nominal yang tertulis itu hasil dari talangan dari bulan lalu. “Jadi Ni, selama ini penghasilanmu dari mana aja?”

“Enggak ada Bu. Semenjak saya enggak menulis lagi. Saya enggak punya pemasukan apa-apa. Padahal dulu duduk-duduk lumayan bisa dapat dua ratus ribu sekali nulis.” Aku tersenyum sekali lagi. Tak lupa mengucapkan rasa terima kasih. Perencanaanku adalah mengambil jadwal ngajar di tempat lain. Supaya enggak disuruh gantiin lagi. Sayang waktunya kalau hanya digaji seikhlas hati oleh mereka. Sementara menulis di sekolah lagi pun tidak bisa karena sudah ada siswa sekolah. Aku juga ingin bisa makan enak. Kalau enggak pun, apa aku harus kabur saja dari rumah? Aku lelah dilarang mulu. Rumah bukanlah tempat ternyaman untuk bertumbuh. “Kak Dwi, kalau Ni keluar dari sekolah enggak apa kan? Kayaknya aku mau kaburlah dari tempat ini?”

“Loh, kok gitu Kak? Kau jangan dulu keluar. Pastikan dulu kalau kau itu sudah diterima di sekolah lain. Baru keluar dari sekolah. Kalau ada masalah bilang Kak.”

Aku tak bisa cerita, tak ingin kulibatkan lagi orang dalam masalahku ini. Takut akan terjadi yang tidak-tidak dan Dwi yang akan disalahkan oleh keluargaku. Aku enggak mau terjadi, biarlah rasa sakitnya kupendam sendiri.

Kulihat lowongan pekerjaan guru yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah di media sosial. Dua tempat yang kukirim, tapi tak kunjung juga dipanggil setelah informasi penerimaan guru Fisika. Aku tahu, pengalamanku menjadi guru sekolah dasar berat menjadi bahan pertimbangan mereka ditambah lagi sudah lama aku tidak belajar ilmu tentang Fisika. Hingga suatu hari sebuah informasi dari sahabatku datang.

Ni, ada temanmu yang baru lulus. Sekolah kami lagi membutuhkan posisi sebagai guru MM, sains, dan wirausaha di SMA?

Kalau ada tolong nanti kirimkan lamarannya ke aku via WA-Ricky

Kepalaku mendadak pusing membaca pesan dari Ricky. Si ketua yang sangat optimis. Dia temanku semasa kuliah dulu. Kebanyakan aku tidak berkomunikasi lagi dengan teman satu almameter. Tapi Ricky berbeda, entah kenapa ia masih bersedia menghubungiku. Kuingat-ingat, temanku kebanyakan sudah bekerja, menikah, dan bahkan ada yang lanjut S2. Rasanya tipis kemungkinan kalau mereka membutuhkan informasi ini. Untungnya aku rajin berselancar di media sosial. Salah satu temanku yang dari jurusan Matematika alhamdulillah akhirnya lulus juga. Paling tidak dia memiliki kawan saat wisuda atau adik binaannya dulu.

Assalamualaikum Sudaryani … mau tanya nih. Ada nggak yang mau ngelamar sebagai guru MM, sains, dan wirausaha di SMA. Kalau ada yang mau kabarin ya. Kriterianya seperti kita gini, orang-orang yang berusaha takwa. ~Nini

Sebentar ya kutanyakan dulu sama yang lainnya. Memang model seperti kita nih dicari banyak orang Ni. Sudar setelah wisuda aja langsung ditarik di sekolah tempat Sudar lakukan penelitian.  

Aku menunggu jawaban, sembari menghubungkan gawaiku ke wifi dan mencoba mengunduh rekaman belajar menulis dari komunitas. Ya, aku ingin menulis lagi. Ini waktunya sudah tepat. Hatiku mantap untuk berselancar dalam dunia tulis menulis. Paket data terbatas dan wifi sekolah yang menyelamatkan hingga bisa menghemat di akhir bulan. Rasanya ingin sekali punya wifi di rumah, tapi kata Mamaku masuknya mahal. Belum lagi biaya bulanannya juga.

Tak butuh waktu lama. Sudar memberikan nama-nama orang yang berminat dan akhirnya ada juga yang menghubungi. Tersisa satu orang bertahan dan langsung kuberikan dokumennya kepada Ricky secara daring.

Ini yang MM ya? Sains ada nggak? Kalau ada segera kirim ya.~Ricky

Eh, tunggu. Kenapa enggak aku saja yang melamar di tempat dia? Walaupun jauh, tapi kan dia yang memang menginginkanku sejak dulu sebelum tamat kuliah. Sejujurnya hatiku berat. Namun di sisi lain aku begitu yakin untuk keluar dari lingkaran. Kalau di SMA kan pengetahuannya lebih luas dan enggak ada tuh istilah digantiin sama guru lain seenaknya karena beda mata pelajaran. Ah, kucoba dulu buat lamarannya dan kukirim jawaban disertai emotikon.

Ricky menyadari ada yang berbeda dari pesanku. Kupikir saat ini ia sudah memahami pembicaraan melalui kata yang terkirim. Ia sudah banyak berubah setelah menjadi Kepala Sekolah di SMA. Tidak lagi asal-asalan dalam menyampaikan pesan tertulis.

Setelah hari Sabtu kukirim lamarannya. Seninnya aku dipanggil ke sekolah Ricky. Ia mengatakan bahwa perkenalan sebagai teman dan lamaran pekerjaan itu berbeda. Alhasil aku menerima kuliah panjang hingga tengah hari. Aku bersyukur ia langsung menerimaku di sekolahnya dan segera kukabari pada Dwi.

Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Meski bukanlah ilmu pengetahuan yang berkembang. Namun cara mengolah kelas yang bertambah. Ibu Kepala Sekolah tempatku mengajar pun mengizinkanku mengundurkan diri setelah menimbang alasanku keluar begitu kuat. Selain jurusanku yang tak selinear dan status sebagai guru honorer yang tidak punya NUPTK. Ia mengatakan bahwa aku memilih keputusan yang baik dengan naik tingkat ke jenjang yang lebih tinggi. Hatiku girang, walau rasa berat. Ada sebuah bisikan bahwa ini menjadi batu loncatan supaya bisa menjadi dosen sekaligus suatu hari nanti.

Aku tak tahu berapa gaji yang akan kudapat nantinya. Setidaknya, kehidupan SMA sudah lebih fleksibel dibandingkan sekolah dasar yang harus ekstra pengawasan. Mana tahu, di sana aku bisa bertemu jodoh kan siapa tahu. Setidaknya, aku bisa menulis lagi yang sesuai dengan jurusanku.

“Loh, Kakak kok datang?” tanya Mira sang operator sekolah dan langsung kuserahkan surat pengunduran diri. “Oh, iya surat ini. Semoga Kakak sukses di sana ya dan jangan lupakan kami.” Matanya berkaca-kaca.

“Iya, nanti kalau sabtu libur Kakak mainlah ke mari. Oh, iya mau tanyalah. Ini wifi kita pakai wifi apa ya?” Kuperhatikan lagi benda bersegi putih berantena berkedip-kedip hijau yang nempel di dinding dekat pintu masuk kantor. “IndiHome bukan?” Kudengar dulunya sih begitu.

“Iya Kak.”

“Itu cara masuknya bayar berapa?”

“Kalau pakai IndiHome nggak bayar kak masuknya. Langsung bayar bulanannya aja.”

Aku mengangguk paham jadi semakin yakin kalau suatu hari nanti setelah finansial ada pakai wifi. “Bulananya berapa tuh?”

“Sekitar dua ratusan lebih Kak. Bentar ya kutunjukkan dulu ya pembayaran bulan lalu,” ucapnya sembari menunjukkan nota pembayaran. “Ngapain Kakak pasang wifi kan sayang kalau di rumah.”

“Kami di rumah banyak orang. Kalau sampai empat orang per bulanannya seratus ribu. Apa enggak mahal juga kalau ditotalin.” Kalau pakai wifi rasanya IndiHome, aktivitas tanpa batas saja tanpa harus memikirkan tinggal berapa Gigabyte lagi ya di akhir bulan.

Aku memang tak tahu nasibku di kemudian hari, tapi satu hal yang dapat kusyukuri dalam hidup. Ranah penulisan mampu kuperjuangkan lagi seiring berjalan meningkatkanya keberanianku. Apalagi semakin banyaknya event menulis, termasuk #IndiHomenulis.

Serangkum Kisah di Tahun 2022

Serangkum Kisah di Tahun 2022

The day before, when we never try, we will not know. Like that.

Setahun sudah kita mengarungi tahun 2022, tak ada yang tahu pasti bagaimana nuansanya. Apakah baik-baik saja atau diterpa ketidakmungkinan yang tidak mungkin dihindari?

Begitulah sekumpulan makna yang tak terhempas dari yang namanya sebuah pengharapan. Kepercayaan yang dulunya melambung tinggi belum tentu pula akan serupa di akhir tahun. Hidup adalah sebuah jejak misteri yang akan terus berlanjut selagi napas berhembus.

Sebuah awal yang kukira adalah rumah

Ingatan ini melambung akan sebuah pencapaian akan hendak dicapai. Jaraknya dekat, hingga rapat tanpa ada yang mengira semuanya baik saja-saja. Itulah kali pertama saat sebuah pertanyaan adalah sebuah perhatian kecil yang mengandalkan rasa. Gadis lugu yang tak tahu menahu tentang cinta. Cinta yang mengajarkan pada pengorbanan, berlanjut pada sebuah keikhlasan.

Sakit, tentu saja tak terhitung bagaimana resonansinya. Getarannya mengajak berbicara kepada Sang Pencipta tentang beragam hal yang telah dilalui. Tak banyak yang dipinta, hanya seikhlas langit dan Bumi. Tanpa mengharap sedikit balasan yang tercipta.

Ia terlihat tegar, sehat, dan tak memiliki cacat apa pun. Siapa pun yang berhadapan dengan dirinya akan menanyakan sebuah solusi. “Apakah ini bisa tinggali? Apakah ini bisa dilanjutkan?” Semuanya tampak segaris dengan senyuman keikhlasan bahwa iman itu indah. Iman itu nyata, menerpa paling dasyat bak keindahan surgawi. Orang-orang baik berkumpul menjadi satu, menurutnya.

Ketika salah memilih pundak

Sayang, dari sekian banyaknya misteri yang tak terpecahkan. Keyakinan itu pula yang meruntuhkan benteng pertahanan. Ia kira, semesta menjawab melalui doa-doa yang telah dilangitkan. Saat melihat deretan amal yang telah berjejer meminta pertanggung jawab. Ia pikir akan menjadi senjata pamungkas dalam bertindak. Nyatanya, ilusi mendatanginya. Siap-siap menusuk relung terdalam, menjadikan penyakit misteri yang hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.

“Kalau begitu, mungkin inilah takdirnya.” Ia mulai melihat garis tangan yang berbeda dari kebanyakan orang. Mulai membandingkan diri bahwa sebenarnya dirinya yang hanya mampu melewati. Memang benar adanya. Sayang jikalau ia lupa bahwa manusia lebih kompleks dalam memecahkan masalah. Pengandalannya hanya satu, keyakinan pada Sang Pencipta meskipun sendirian di tempat sepi. Seolah ada yang mengilhami, inilah tempat yang paling nyata dalam melaksanakan misi. Bahkan semua orang yang ditemui bukanlah tanpa sebab.

Salah mengendalikan diri

Sudah sejak lama ia merasa tak nyaman. Lantas langsung bertanya pada orang yang ditemui. Nyatanya, tidak semua orang memiliki pemikiran serupa. Sebagian ditempa dengan kerasnya hidup dan hati. Sebagian lagi ditempa dengan cinta dan dia merasakan cinta yang luar biasa menerpa diri. Merasa bisa merasakan nikmatnya cinta menjaga seseorang tanpa merasakan kesusahan. Kali pertama dalam hidup, memang sulit dilupakan. Seharusnya itu tidak pernah terjadi, merasa ada sesuatu yang terus mengawasi, dan dihadapkan penuh misteri. Orang-orang di sekeliling tengah menganggapnya tengah mengalami gangguan kejiwaan.

Tak ada yang bertanya, “mau makan apa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” Tak ada yang bersedia berkomunikasi dengan dirinya, menanyakan kabar dan sebenarnya apa yang tengah disembunyikan. Lebih tepatnya, ialah yang menutup akses pembicaraan paling dasar di antara orang paling dekat. Ceritalah, apa yang membuatmu begitu sedih? Atau ada sesuatu yang sangat engkau sembunyikan. Tak apa, tak ada yang marah. Meski ada peraturannya manusia yang berhak bertanya. Barangkali keyboard boleh bertanya, menjadi pelipur lara dari hati yang paling sendu.

Jeruji bukan besi

Oh, ini ternyata di sini. Semua kebiasaan yang berbeda dari orang-orang dari masa lalu. Sangat berbeda. Bukan tak mau diceritakan, barangkali lain waktu. Lain waktu kita bisa bercengkerama dengan kewarasan dan ketenangan yang mengisi jiwa. Tentang uniknya orang-orang yang ia temui. Semuanya tampak normal, tak ada yang bermasalah. Bahkan tak ada yang menggila, kecuali beberapa yang mengamuk. Dia, hanya tersadar dari obat tidur yang panjang.

Bagaimana rasanya menjadi anak kecil?

Kehilangan masa kecil, apakah mungkin manusia langsung beranjak dewasa? Tidaklah mungkin bukan. Semuanya memang halusinasi belaka, membawa malapetaka tak mungkin harus dituruti. Tubuhnya memang besar, nyatanya haus kasih sayang dari orang tua yang minta disayang. Perbedaan usia yang terlampau jauh memang membuat kejam, hingga sering salah memaknai apa artinya lumrah.

Saat diri menyadari apa yang telah terjadi, saat itulah tercenung. Kalbunya yang dulu baik-baik saja mendadak nyeri, ditampik dengan beragam sugesti tidak apa-apa. Mungkin hanya perasaan saja. Ia mulai dimaklumi banyak orang dan diperlakukan istimewah. Hanya saja, tak sejajar di antara orang-orang pada umumnya. Bahkan bangun pagi pun sangat susah, seberat menaklukkan dunia dan cinta.

Tersimpan misteri cinta tak kesampaian

Alergi kasih sayang, cinta, dan pengorbanan. Mungkin semenjak ia merasa dicampakkan dari manusia paling dingin yang tidak menanyakan kabar. Bukannya, dia sendiri adalah sosok manusia yang paling dingin? Lantas, mengapa mengharapkan es akan mencair. “Bila dasarnya terjal, maka kelanjutannya akan tetap terjal. Bila asalnya membeku, maka temannya juga tetap membeku. Bukannya kutub Selatan dan kutub Utara adalah pasangan?”

Kini sudah akhir tahun dan ia masih mendapati diri tengah hidup. Berhasil hidup dari kisah yang dianggapnya Putri Salju. Sebuah dongeng yang tidak berlaku untuknya di tahun 2022. Lain kali, lain waktu, tersenyumlah. Tak apa, cinta tidaklah salah, yang salah hanya harapannya. Ada, meski seujung kuku dan ketika menekan dada, nyeri. Satu kalimat yang menghardik dirinya. “Bagaimana dengan dunia tanpa cinta?”

Hallo, semuanya. Kalau ada yang mengerti ini kisah apa, coba tulis di kolom komentar ya. Jawaban terbaik akan saya berikan sebuah planner tahun 2022. Walaupun sudah tidak relevan lagi, tapi tetap bisa digunakan untuk mengatur waktu yang seru untuk diajak berpetualang.

Salam Rindu, Harumpuspita.

Kaya Pun Tidak

kaya dengan menulis

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh …

Hari telah berganti, waktu telah berlalu. Sementara aku masih di sini, diam, dan termenung pekara waktu. Lantas, akankah aku begini terus? Membisikkan beragam impian yang terpendam dalam sebuah cerita 1000 negeri dongeng.

Hei, Negeri dongeng itu menarik bukan? Seumpama seribu impian kala mata terpejam ataupun penghantar tidur sebelum tidur sesungguhnya.

Aku kembali dari impian yang terdahulu.  Sejauh episode sebelumnya yang belum bertemu dengan kisah akhir. Sejauh itu pula, mari melanjutkan sejarah dengan mengulas beragam hal yang belum terselesaikan.

1.      Kisah Akhir Bulan

Makan dengan menu sajian lauk yang enak adalah impian semua orang. Malam itu, aku terkenang. Saat masa sulit ditinggal Bapak kawin lagi. Sajian nasi goreng dengan khas cabai rawit ditemani kerupuk terasa nikmat.

“Ingin makan enaklah,” rengekku merindukan lauk yang lain.

“Sok punya duit betingkah.” Adikku yang lelaki turut mengomel dan kali ini ia lebih mengomeliku dengan ada benarnya. Kisah akhir bulan, istilah tanggal tua.

Bukan bersebab karena menghabiskan lauk yang enak di tanggal muda, tapi memang situasinya yang hidup serba pas-pasan. Gajiku tak cukup mendongkrak kehidupan finansial keluarga kami.

“Iyalah.” Aku berpasrah, menimbang ulang dengan nafsu makanku saat ini. Sungguh berbeda dari dulu ke dulu yang diselingi rasa syukur karena masih kecil masih bisa bersekolah dan makan seadanya. Namun setelah dewasa ini, cara pandangku mulai berbeda. Tidak ingin kembali ke masa lalu dengan keluh kesah serba kekurangan.

2.      Kalau Nanti Punya Uang

Kalau nanti punya uang mau diapain?

Dialokasikan kepada orang yang tepat sembari mendambakan bisa makan direstoran tanpa melihat daftar harga.

Tidak, bukan begitu caranya. Kalau punya uang, bukan taraf hidupnya yang perlu ditingkatkan, tetapi sedekahnya diperbanyak. Bukankah berbagi jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan makan sendiri?

“Benar juga ya,” pikirku seketika.  Percuma banyak duit, tapi hati enggak tentram karena tidak berbagi. Sebab, nikmatnya hanya sampai ke perut sendirian. Sementara banyak orang yang juga berselera ingin makanan enak juga. Selain itu, kalau nanti punya uang. Niatnya ingin nabung, siapa tahu bisa digunakan untuk keperluan lainnya yang lebih penting di kemudian hari.

3.      Solusinya apa dong?

Banyak cara yang bisa dilakukan supaya menghasilkan uang. Misalnya berdagang atau bekerja sampingan yang lain. Namun juga diperlukan perjuangan supaya mendapatkan hal yang diinginkan. Termasuk keputusan dan waktu.

“Ma, aku mau jadi penulis ajalah. Supaya enggak ke mana-mana, di rumah saja aman,” curhatku pada Mama malam itu. Sembari berbicara santai tentang hal yang tidak penting lainnya. Keputusan ini sudah lama sekali aku rencanakan. Bagaimana membuat diri tidak dikhawatirkan oleh pihak lain. Apalagi bisa menyeimbangkan waktu antara pekerjaan rumah.

   Mamaku hanya terdiam, baginya aku hanyalah pembual yang suka menyia-nyiakan waktu.

“Aku tuh maunya, nulis ini sebagai pekerjaan yang menyenangkan. Mama enggak ada teman penulis gitu?”

Mama menggeleng. “Ah, kayak gitu capeklah.”

Begitulah perbedaan pendapat di antara kami. Mungkin sekarang ini Mama masih belum percaya bahwa menulis adalah pekerjaan yang menjajikan, tapi suatu hari nanti aku yakin Mama akan percaya bahwa profesi apa pun itu selagi menyenangkan dijalani. Pasti ujung-ujungnya menjanjikan. Bahkan Tere Liye saja yang terkenal saat ini sudah berkarir selama dua puluh lima tahun. Aku pun baru tahu saat acara jumpa pengarang tanggal 2 Oktober 2022 yang lalu tepatnya di Manhattan.

4.      Sadar diri aja, Kaya pun Tidak

Aku menyadari bahwa segala hayalan apa pun yang terlintas dalam benakku. Bahkan sekaya JK Rowling sekalipun, aku hanyalah seorang penulis pemula. Meski enam tahun lamanya aku berkecimpung di sana dan masih dianggap tidak menghasilkan apa-apa oleh orang lain. Setidaknya, aku masih punya jalan untuk memetakan jalan karya.

Tidak masalah jika tidak menghasilkan bagiku, setidaknya aku masih bisa mengeksplor banyak hal dari menulis. Tentang membagikan beragam hal dengan gaya tulisanku sendiri. Tentang hayalan yang terpendam dalam cerita fiksiku.

Aku memang bukan seorang pengarang sepenuhnya, adakalanya menjadi seorang penulis blog yang mengandalkan konsep berpikir lebih tepatnya. Jadi, berkarya lagi dengan tulisan siapa takut?

Kaya pun tidak, tidak masalah jika tidak kaya akan materi. Masih ada rasa syukur yang membuat kita merasa cukup dengan apa yang ada. Itu jauh lebih berharga dibandingakan dengan kekayaan yang berlimpah ruah, tetapi tidak merasa cukup sama sekali.

Sampai jumpa di lain segmen, dengan konsep kisah yang berbeda. Semoga umur kita diberkahi oleh Allah swt.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Hadiah Milad ke-24 Paling Istimewah

Hadiah Milad ke-24 Paling Istimewah untuk Penulis Diary Harumpuspita

“Hey, aku harusnya bahagia, kok malah nangis,” batinku sembari membelah jalanan.

Ketika menghadapi pengulangan tanggal ke-24 ini, batinku berbicara untuk tidak melakukan hal yang muluk-muluk. Sederhana, tetapi bermanfaat. Bahkan kalau bisa diisi dengan kegiatan positif yang mengerahkan segala tenaga.

Sehari sebelumnya aku sudah menyetel rencana dengan sahabat melalui telepon WhatsApp yang tersambung.  Aku ketahuan  bersedih parah lagi, meskipun sudah berusaha baik-baik saja padanya sembari berbincang. “Nada suaramu enggak bisa bohong,” tudingnya tepat.  “Yaudah lebih baik engkau habiskan waktu bersama keluargamu saja. Kan itu momen yang langka.”

Rencananya aku ingin melunasi janji yang belum terbayar karena ia sudah wisuda duluan dan sekalian menghabiskan waktu di hari spesial besok. Kebetulan pula aku mendapatkan voucher makan karena berkomentar cerita terbaik. Pas pula tanggal merah yang bertepatan dengan hari Imlek. Mungkin ini memang rezeki buatku dan bestie, pikirku seketika. Biasanya aku juga sering kabur kalau sudah hari milad. Suka aja gitu menganggap milad adalah hal yang tidak perlu dibesar-besarkan. Hanya sederhana dan berbagi. Hal yang tidak kusangka adalah ketika ayahku berada di rumah pada waktu itu. Aku berpikir sekali lagi untuk mengajak keluargaku makan bersama. Rata-rata sudah pada kuajak kecuali si Bungsu dan Ibuku. Bolak-balik kubujuk, hasilnya tetap nihil.

Hanya saja, aku tidak mengerti dengan perasaanku yang mendapatkan kepedulian dari orang terdekat mengatakan hal buruk tentang mimpi yang sedang kuperjuangkan. Biasanya aku akan sekuat baja, mengatakan pada dunia bahwa inilah yang aku perjuangkan dan tidak menyalahkan siapa pun atas kegagalan selama ini. Hanya saja, entah kenapa rasanya hatiku begitu lelah. “Apa aku mengikuti apa kata mereka aja ya supaya jalan hidupku lancar dan enggak ada hambatan seperti yang lain?”

Rasanya, duniaku begitu gelap seketika. Aku gemetaran dan berjalan dengan lutut yang lemas layaknya saling mencintai, tetapi tidak direstui. Hal terberat yang pernah aku alami dalam hidup selain kehilangan diri dan berusaha untuk tidak bangun lagi. Aku terus berpikir sekali lagi tentang beratnya perjuanganku yang sering kali menangis saking seringnya dicemohkan pekara pilihan hidup. Memang terlihat seperti tidak punya pekerjaan dan mudah sakit. Namun aku begitu menikmatinya dan selalu merasa bahagia. Bahkan tidak merasakan sakit sama sekali, meskipun sebenarnya aku kesakitan.

Sayangnya, aku tidak mengingat perjuanganku hanya karena perasaan lelah dan membuat pengumuman di story Instagram yang mengabarkan haruskah aku berhenti? Pilunya sungguh menusuk, bahkan anak didikku sekalipun tidak bisa menjadi pelipur laraku pada hari itu. Setelah bertemu kloter paling sejuk, barulah aku bisa menjadi guru sebenarnya dan kami pun bermain peran bersama.

Pulang sekolah, aku tak langsung pulang. Lantas kusandarkan lututku yang sebenarnya masih lemas di hadapan-Nya. Bertanya sekali lagi tentang ketetapan hatiku. Sembari berharap bahwa intuisiku selama ini tidaklah salah. Ya, aku ingin menghilang seketika dan sempat melog-outkan akun Instagramku. Namun masih memikirkan tentang flyer yang sudah kubuat akan janji Live bersama dengan sahabat pena sekalian pengumuman giveway. Laraku berhasil membuat mata bengkak.

Malamnya aku tertidur di ruang tengah setelah pulang mengaji dengan keadaan masih mengenakan mukena hingga tersadar ketika aku merasa melihat wajah seseorang di dalam mimpiku. Aku terbangun sebelum pukul dua belas, tepatnya masih pukul setengah sebelas malam. Aku berkedip dan seolah ada wajah seseorang lagi di hadapanku. Hingga aku pun memutuskan untuk menyetrika dan hatiku mulai merasa biasa saja.

Ayah belum tidur dan masih menonton televisi. Aku mendatanginya setelah memberanikan diri untuk memantapkan diri mencoba bernegosiasi. Awalnya aku masih belum mendapatkan persetujuaannya karena ia bilang akan membantu Mama berladang. Namun otakku terus berpikir untuk memberikan alasan yang relevan dengan dalih mengajak saat jamnya makan siang ketika terik Matahari sedang meninggi. Sembari mengajaknya untuk riset ke tempat para pembudidayaan tanaman. Hingga pada akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa ia mengiyakan tawaranku.

Aku melanjutkan lagi aktivitas menyetrika sembari mengenakan headset supaya lebih fokus dan tidak terhasut oleh sekeliling. Biasanya aku tidak bisa tahan menyelesaikan sampai tuntas jika tidak menonton. Mungkin karena momennya menuju umur yang kedua puluh empat tahun aku jadi memiliki amunisi dalam mengerjakannya. Tentunya juga menyetel lagu india ceria, maka jadilah gila seketika. Menerbitkan senyuman sendiri dan sekalian ketika lelah aku mengganti rutinitas membersihkan rumah malam itu juga. Orang Jawa bilang sih, pamali jika membersihkan rumah malam-malam. Namun bagiku tidak berlaku karena aku hanya memiliki waktu tengah malam dalam berutinitas di rumah. Sehingga nokturnal ini merupakan kegiatanku sehari-harinya. Bahkan ketika masa halangan tiba, aku tetap terbangun sendirinya ketika tengah malam tiba. Rasanya romantis sekali, tetap dibangunkan di sepertiga malam. Apalagi diberikan semangat luar biasa tanpa rasa sakit.

Aku mengecek e-mail ketika menjelang subuh. Barangkali ada sebuah pesan penting dari instansi yang sering memberikan informasi. Kedua bola mataku membulat, setengah tersenyum melihat sebuah pesan yang bertuliskan ‘Selamat Ulang Tahun’ dari Mie Ayam Mahmud dan Juga dari Dicoding. Wew, mereka baik sekali mengirimiku pesan lebih dulu dibandingkan temanku yang lain. Terus ada potongan harga pula. Pemikirannku berkelana memikirkan rencana apa yang akan aku lakukan dari penawaran mereka.

Persepsi seribu candi dalam satu malam bukanlah hal yang mustahil bukan? Aku selalu bekerja sama sendirian. Seolah memiliki sisi lain yang tidak kehabisan energi. Namun kali ini aku berusaha kembali memberikan sebuah contoh, barangkali adikku berinisiatif membersihkan rumah saat melihatku. Walaupun tak banyak, setidaknya pekerjaan merasa lebih ringan dan ternyata itu menyenangkan. Meskipun apa yang ia kerjakan belum tentu sesuai dengan seleraku.

“Loh, Bapak ke mana kak?” tanyanya setelah melihat kepergian ayah mengenakan style rapi dengan sepeda motor.

Aku berusaha berbaik sangka, barangkali ada yang sedang ia urusi. Entahlah, hati ini seolah mengatakan hal itu. Seharusnya kami memang sudah pergi, tetapi aku belum siap bersih-bersih sejak tadi malam. Secepat kilat aku berganti pakaian saat mendekati jam makan siang dan benarlah bahwa ayahku kembali di waktu yang tepat. Kemudian segera memesan reservasi tiga puluh menit dari sekarang.

Ayahku tidak banyak bicara. Namun langkahku seolah gemetaran ketika ia mau kubonceng dengan sepeda motor. Momen yang sangat mengharukan sebenarnya bagiku. Antara sedih atau terharu aku pun tak tahu. Rasanya aku seolah sulit membedakan bahagia atau kesedihan. Ingatanku kembali kepada masa sekolah Menengah yang ketika itu selalu mengeluarkan air mata meski dalam keadaan tertawa sekalipun. Bahkan kali ini tak mampu kuucapkan bagaimana perasaanku sebenarnya. Hal sederhana yang orang lain punya, kini bisa kurasakan setelah penantian belasan tahun. Bolak-balik aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa Allah itu Maha Baik. Tak selamanya hidupku berupa nestapa. Aku merindukan masa kecilku, tentu saja. Perasaanku seolah kembali ke masa kecil. Tentang perasaan syahdu kedekatan putri kecil dengan ayah. Aku berusaha bilang kalau aku sudah sembuh dan tidak trauma lagi. Ya, lelaki adalah hal yang paling kuhindari dalam hidupku di masa lalu.  

“Hei, aku seharusnya bahagia. Kok malah nangis sih,” batinku sepanjang perjalanan.

Setelah di sana, aku baru tahu kalau masuk harus scan QR dulu. Kemudian mengatakan keadaan ayahku sebenarnya kepada pelayan di depan pintu masuk. Kemudian kami dipersilakan masuk dan ditunjukkan tempat yang sudah dipesan. Tak menyangka, belum ada menunggu lima menit, pesanan ayahku sudah didatangkan. 

Aku seolah menyaksikan kisah romantis yang berada di telivisi tentang kejutan ketika makan bersama. Momen getaran mengharu biru jelas masih belum pergi dari diriku. Perasaanku saat ini seolah pertama kali mendapatkan hadiah dari teman sekelas saat kelas 6 SD. Menakjubkan dan sungguh sangat bahagia. Ah, bagaimana bisa aku malah kenyang duluan sebelum menyantap makanan?

Ayah, sejujurnya tanganku gemetar merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan.

Kejutan ini sungguh sangat spesial. Aku mengirimkan pesan kepada admin Mie Ayam Haji Mahmud untuk meminta bantuannya memotret kami berdua ketika makan ala candid. Tak selang berapa lama kemudian, foto itu sudah dikirim dan aku pun tidak tau siapa yang memotretnya. Aku melihat hasilnya wow bagus banget.

Reservasi di Mie Ayam Jamur Haji Mahmud

“Kenapa?” tanya ayah.

“Enggak apa,” jawabku setengah tersenyum.

Pada momen ini aku belajar mendengarkan, berkomunikasi kembali kepada Ayah. Perasaan penyayang dan perhatianku seakan kembali lagi. Seolah Allah swt memutarbalikkan perasaanku tanpa negosiasi. Sebelumnya aku sudah kadung mengeraskan hati karena perasaan seolah terhianati disebabkan ditingggal saat lagi sayang-sayangnya. Sifat mudah terluka dan memaafkan dalam diriku emang enggak bisa bohong. Ah, sudahlah. Setidaknya aku sudah menikmati hidupku dengan baik akhir-akhir dan harapannya akan menjadi lebih baik lagi. Belajar mendewasakan diri seiring berjalannya waktu. Bagiku, dewasa itu adalah bijak dalam menghadapi segala hal dalam hidup.

nilah putri kecil ayah yang siap belajar mendengarkan tentang kondisi ayah.

Sekilas tentang hadiah milad ini adalah hal yang sederhana, tapi sangat berharga bagiku. Menurutku ini hadiah terbaik yang Allah datangkan dalam hidupku. Selain itu, aku juga bisa mengajak makan bersama yang ulang tahunnya berdekatan denganku, yaitu Kak Mita di tanggal 4. Kemudian aku juga bisa melunasi janji pada sahabatku Nurainina besoknya. Bahkan hal yang tadinya enggak mungkin menjadi mungkin. Fahmi, adiknya Nurainina juga bisa ikutan makan bersama di sana di hari momen beda hari.

“Hei, rajin banget sih makan di Ayam Mahmud?” tanyaku pada diri.

“Kan rezekinya di sana. Manfaatin dong :D.”

Rasanya aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Allah swt yang telah menjadikan tempat Mie Ayam Haji Mahmud sebagai hadiah paling istimewah di hari milad ke-24. Terima kasih kepada pihak Mie Ayam Haji Mahmud atas hadiah vouchernya, pelayanannya, pokoknya semuanya deh.

Oh, iya. Ada satu lagi. Tentang mimpiku, aku harus berjuang kembali. Hatiku sekarang sudah baik-baik saja dan tidak jadi berhenti. Ternyata, itu semua ujian bagiku hingga pada akhirnya seolah Allah bilang padaku untuk tetap berjuang atas keyakinan yang ada pada diri. Ah, hati yang terbolak-balik siapa tau. Sembari berharap, semoga intuisiku tidaklah salah.

Sampai jumpa di cerita perjalanan Diary Harumpuspita selanjutnya.