Air Mata Penulis oleh Harumpuspita

Air Mata Penulis By Harumpuspita

Ada yang lebih gemilang dari sekadar kata-kata membangun. Ialah perkara perjuangannya menghadapi kehidupan atau mencapai cita-citanya. Jika kebanyakan orang melihat puncak yang tinggi untuk mengukur kesuksesan seseorang. Maka izinkanlah seseorang itu menyaksikan perjuangan yang berbeda dari teman-teman yang lain.

“Bu, saya izin pakai tempatnya dulu ya,” ucapku pada ibu penjaga sekolah. Kucolokkan kabel penghubung listrik ke stop kontak. Kuatur sedemikian rupa meja guru supaya nyaman digunakan dan kubuka  aplikasi berselancar internet setelah memastikan terhubung dengan wifi. Begitu yang kulakukan setiap kali pulang sekolah atau di saat libur telah tiba. Aku memutuskan untuk mencari penghasilan tambahan sebagai blogger dibandingkan hanya mengandalkan gaji honorer. Lagi pula, pekerjaan yang tidak membutuhkan banyak waktu itu bisa menyediakan waktu menulis untuk orang lain.

Bila orang lain mencari pemasukan dengan bisnis dan urusan lainnya. Aku menggunakan proses berpikir kreatif yang kupikir lebih minim pengeluaran. Tak peduli bagaimana mereka melarangku melakukan hal ini. Aku hanya menyukainya dan berani memperjuangkannya walau hingga kini hasilnya belum kelihatan di mata mereka.

“Iya Ni, pakai saja. Nanti kalau sudah selesai dikunci lagi yang pintunya. Sama ibu aman. Santai,” ucap Ibu Ita menenangkan. Meski kami baru mengenal setahun, tapi begitu dekat. Apalagi dengan temanku Dwi juga sesama honorer. Sikap saling melindungi membuat kami bertahan walaupun gaji terkadang belum bisa dianggap aman untuk kehidupan sendirian.

*

“Apa yang kau cari Ni? Ngajar di situ hanya buat kau terpuruk. Mending pindah tempat lain sajalah. Orang lain saja hijrah kalau enggak ada penghasilan. Lah, kau tetap bertahan di situ aja. Cemanalah hidupmu kalau enggak ada peningkatan,” ucap abangku saat aku baru saja pulang.

Aku meletakkan sepatu ke rak dan memasukkan kunci ke dalam tas goni. Sejujurnya aku menyukai hal ini. Alasanku dulu menerima menjadi guru honorer sekolah dasar adalah supaya tidak disangka pengangguran saja. Padahal setiap harinya, aku mencari rezeki dengan cara menulis, membaca, dan mengkreasikan sesuatu yang kubisa. Proses supaya bisa masuk ke sana hanya modal datang saja dan menyerahkan lamaran. Rupanya aku diterima walaupun posisinya belum memiliki ijazah sarjana.

Tak ingin aku mendebat apa yang diucapkan abangku bahkan keluargaku. Diam adalah solusi supaya tidak terjadi perang dunia.

Aku tahu, punya perjalanan hidup bukan keinginan orang tua adalah hal tersulit dalam kehidupan. Bahkan dalam hal rezeki pun banyak yang mempraktikkan radar sulit. Aku dulu juga begitu, pernah menangis di saat orang mencapai impiannya. Sedangkan aku tidak. Boro-boro menghasilkan uang. Punya pembaca saja sudah sangat bersyukur. Kini perjuangan menulis lebih berat lagi. Dilarang dan dikucilkan sudah menjadi makanan sehari-hari.

“Ah, ntah apa yang kau kerjakan Ni. Jangan kau menghayal saja. Enggak ada gunanya itu. Kalau terpuruk terus hidupmu, terserah kau ajalah.”

Ia menyerah dan aku akhirnya ada perasaan lega yang menyelinap. Lalu pada bulan kemudian ayahku bertanya padaku setelah aku diam tanpa suara selama dua minggu lamanya. Kasusnya serupa, masih kudengar kata paling pahit dalam hidupku saat kuberikan panggilan telepon kepada Mama.

“Hallo Di. Ah, iya nih. Adikmu sudah kami cegah. Kami kasih obat sebelum malam. Jam enam sore kami kasih dia obat supaya tidak bisa menulis lagi.”

Lututku begitu lemas, menyadari kenyataan yang terjadi. Walaupun memang sebelumnya aku menyadari hal seperti itu. Hanya saja selama ini prasangkaku berusaha positif. Mungkin bukan itu maksud mereka. Aku semakin diam, menangis dalam kebisuan dan tak berani melawan. Sebab melawan hanya disangkanya aku sebagai orang gila. Bagiku, orang gila sesungguhnya adalah orang yang mengatakan orang waras sebagai orang gila.

Inilah rahasiaku, tetap patuh. Meski larangan itu terus menghampiri. Berusaha tuli dengan semua omongan yang menjatuhkan. Lagi pula, apa salahnya menulis? Aku tak menghina siapa pun bahkan tak menggunjing siapapun. Sesuatu yang kutulis adalah peleraian kata, mencari solusi, dan beragam hal lainnya. Kalau aku mau, aku ingin keluar dari rumah ini dan dinikahi oleh lelaki baik yang mendukung impianku. Namu aku menyadari, jangankan menginginkan hal seperti itu, didekati oleh lelaki yang seperti itu pun belum ada. Maka, bersabar dan tahan. Barangkali ada sesuatu lain yang bisa kulakukan untuk membuat hati tenang dan ikhlas atas segalanya.

“Jadi, kamu mau apa sekarang?” tanya Ayah menatapku di waktu duha dan menyadari aku telah mendiami seluruh keluarga seminggu lebih.

“Ni mau jadi penulis seperti Buya Hamka, Ayah … Ni, mau jadi penulis aja, enggak mau yang lain,” ucapku di pangkuannya seraya mengalirkan air mata yang sudah menggenang. Padahal di sebalik keinginanku menjadi penulis, juga menjadi dosen suatu hari nanti. Aku tahu mereka pun juga akan melarang dengan alasan tidak ada biaya. Sulit, inilah cinta yang kuperjuangkan. Bagiku indah, meski entah berapa kali air mata yang keluar. Kadang duka, kadang haru. Aku tak mau mengulangi kesalahan seperti dulu, mengikuti keinginan orang tua yang tidak kusuka. Pada akhirnya sakit-sakitan hampir tujuh tahun dan hati meringis. Gelap, itulah duniaku kala itu. Mengikuti perintah untuk tidak bermimpi tinggi-tinggi.

Ketidakinginan memiliki mimpi hanya membuatku buta tentang arah yang dituju. Namun semenjak aku bertemu dengan lelaki fajar tahun 2019, sejak saat itu aku punya mimpi kembali. Tak peduli kata mereka, selagi itu baik akan terus kuperjuangkan. Kini lelaki fajar itu memang tak tampak lagi. Namun kalimat perjuangan yang kudengar selalu menjadi amunisi untuk tetap tegar. “Ni, kita harus punya impian yang tinggi. Tidak ada siapa pun yang boleh mencegah impian kita.” Begitulah katanya, merespon pertanyaanku tentang impianku yang tak didukung.

*

“Ni, makasih ya sudah menggantikan Ibu selama dua hari. Nanti kalau ibu minta tolong lagi, bantuin ya.” Ibu Nia menyalamiku selembar kertas berwarna biru. Sebagai tanda usai kalau aku sudah menggantikan kelasnya. Tak banyak bicara, aku segera menghampiri Dwi di kelas sebelah.

Aku melakukannya dan kebanyakan kuterima mengingat mencari uang seribu rupiah dengan cara halal itu susah. Namun karena memang tidak digaji sampai tiga bulan. Hal yang paling rendah sekalipun aku bersedia. Hatiku tak cukup kuat untuk menyesuaikan keadaan dengan apa yang kuazamkan waktu dulu.

 Menulis? Hampir setengah tahun aku tidak bisa melakukan rutinitas itu lagi. Sejujurnya aku rindu. Berusaha memaksa di sekolah membawa laptop pun percuma. Siswaku tidak bisa diam, disuruh jangan menyentuh barangku. Malah semakin didekati dan entah apa-apa yang dipegang. Alhasil, salah satu tombol keyboard nyaris tak bisa digunakan.

Ibu Arini ternyata sedang bersama Dwi. Ia menyuruhku untuk menandatangani nominal uang yang akan diterima. Setelah diterima ternyata hasilnya berkurang dari apa yang tertulis. Sejujurnya aku bingung saja, Ibu tak menjelaskan sama sekali. Ah, barangkali nominal yang tertulis itu hasil dari talangan dari bulan lalu. “Jadi Ni, selama ini penghasilanmu dari mana aja?”

“Enggak ada Bu. Semenjak saya enggak menulis lagi. Saya enggak punya pemasukan apa-apa. Padahal dulu duduk-duduk lumayan bisa dapat dua ratus ribu sekali nulis.” Aku tersenyum sekali lagi. Tak lupa mengucapkan rasa terima kasih. Perencanaanku adalah mengambil jadwal ngajar di tempat lain. Supaya enggak disuruh gantiin lagi. Sayang waktunya kalau hanya digaji seikhlas hati oleh mereka. Sementara menulis di sekolah lagi pun tidak bisa karena sudah ada siswa sekolah. Aku juga ingin bisa makan enak. Kalau enggak pun, apa aku harus kabur saja dari rumah? Aku lelah dilarang mulu. Rumah bukanlah tempat ternyaman untuk bertumbuh. “Kak Dwi, kalau Ni keluar dari sekolah enggak apa kan? Kayaknya aku mau kaburlah dari tempat ini?”

“Loh, kok gitu Kak? Kau jangan dulu keluar. Pastikan dulu kalau kau itu sudah diterima di sekolah lain. Baru keluar dari sekolah. Kalau ada masalah bilang Kak.”

Aku tak bisa cerita, tak ingin kulibatkan lagi orang dalam masalahku ini. Takut akan terjadi yang tidak-tidak dan Dwi yang akan disalahkan oleh keluargaku. Aku enggak mau terjadi, biarlah rasa sakitnya kupendam sendiri.

Kulihat lowongan pekerjaan guru yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah di media sosial. Dua tempat yang kukirim, tapi tak kunjung juga dipanggil setelah informasi penerimaan guru Fisika. Aku tahu, pengalamanku menjadi guru sekolah dasar berat menjadi bahan pertimbangan mereka ditambah lagi sudah lama aku tidak belajar ilmu tentang Fisika. Hingga suatu hari sebuah informasi dari sahabatku datang.

Ni, ada temanmu yang baru lulus. Sekolah kami lagi membutuhkan posisi sebagai guru MM, sains, dan wirausaha di SMA?

Kalau ada tolong nanti kirimkan lamarannya ke aku via WA-Ricky

Kepalaku mendadak pusing membaca pesan dari Ricky. Si ketua yang sangat optimis. Dia temanku semasa kuliah dulu. Kebanyakan aku tidak berkomunikasi lagi dengan teman satu almameter. Tapi Ricky berbeda, entah kenapa ia masih bersedia menghubungiku. Kuingat-ingat, temanku kebanyakan sudah bekerja, menikah, dan bahkan ada yang lanjut S2. Rasanya tipis kemungkinan kalau mereka membutuhkan informasi ini. Untungnya aku rajin berselancar di media sosial. Salah satu temanku yang dari jurusan Matematika alhamdulillah akhirnya lulus juga. Paling tidak dia memiliki kawan saat wisuda atau adik binaannya dulu.

Assalamualaikum Sudaryani … mau tanya nih. Ada nggak yang mau ngelamar sebagai guru MM, sains, dan wirausaha di SMA. Kalau ada yang mau kabarin ya. Kriterianya seperti kita gini, orang-orang yang berusaha takwa. ~Nini

Sebentar ya kutanyakan dulu sama yang lainnya. Memang model seperti kita nih dicari banyak orang Ni. Sudar setelah wisuda aja langsung ditarik di sekolah tempat Sudar lakukan penelitian.  

Aku menunggu jawaban, sembari menghubungkan gawaiku ke wifi dan mencoba mengunduh rekaman belajar menulis dari komunitas. Ya, aku ingin menulis lagi. Ini waktunya sudah tepat. Hatiku mantap untuk berselancar dalam dunia tulis menulis. Paket data terbatas dan wifi sekolah yang menyelamatkan hingga bisa menghemat di akhir bulan. Rasanya ingin sekali punya wifi di rumah, tapi kata Mamaku masuknya mahal. Belum lagi biaya bulanannya juga.

Tak butuh waktu lama. Sudar memberikan nama-nama orang yang berminat dan akhirnya ada juga yang menghubungi. Tersisa satu orang bertahan dan langsung kuberikan dokumennya kepada Ricky secara daring.

Ini yang MM ya? Sains ada nggak? Kalau ada segera kirim ya.~Ricky

Eh, tunggu. Kenapa enggak aku saja yang melamar di tempat dia? Walaupun jauh, tapi kan dia yang memang menginginkanku sejak dulu sebelum tamat kuliah. Sejujurnya hatiku berat. Namun di sisi lain aku begitu yakin untuk keluar dari lingkaran. Kalau di SMA kan pengetahuannya lebih luas dan enggak ada tuh istilah digantiin sama guru lain seenaknya karena beda mata pelajaran. Ah, kucoba dulu buat lamarannya dan kukirim jawaban disertai emotikon.

Ricky menyadari ada yang berbeda dari pesanku. Kupikir saat ini ia sudah memahami pembicaraan melalui kata yang terkirim. Ia sudah banyak berubah setelah menjadi Kepala Sekolah di SMA. Tidak lagi asal-asalan dalam menyampaikan pesan tertulis.

Setelah hari Sabtu kukirim lamarannya. Seninnya aku dipanggil ke sekolah Ricky. Ia mengatakan bahwa perkenalan sebagai teman dan lamaran pekerjaan itu berbeda. Alhasil aku menerima kuliah panjang hingga tengah hari. Aku bersyukur ia langsung menerimaku di sekolahnya dan segera kukabari pada Dwi.

Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Meski bukanlah ilmu pengetahuan yang berkembang. Namun cara mengolah kelas yang bertambah. Ibu Kepala Sekolah tempatku mengajar pun mengizinkanku mengundurkan diri setelah menimbang alasanku keluar begitu kuat. Selain jurusanku yang tak selinear dan status sebagai guru honorer yang tidak punya NUPTK. Ia mengatakan bahwa aku memilih keputusan yang baik dengan naik tingkat ke jenjang yang lebih tinggi. Hatiku girang, walau rasa berat. Ada sebuah bisikan bahwa ini menjadi batu loncatan supaya bisa menjadi dosen sekaligus suatu hari nanti.

Aku tak tahu berapa gaji yang akan kudapat nantinya. Setidaknya, kehidupan SMA sudah lebih fleksibel dibandingkan sekolah dasar yang harus ekstra pengawasan. Mana tahu, di sana aku bisa bertemu jodoh kan siapa tahu. Setidaknya, aku bisa menulis lagi yang sesuai dengan jurusanku.

“Loh, Kakak kok datang?” tanya Mira sang operator sekolah dan langsung kuserahkan surat pengunduran diri. “Oh, iya surat ini. Semoga Kakak sukses di sana ya dan jangan lupakan kami.” Matanya berkaca-kaca.

“Iya, nanti kalau sabtu libur Kakak mainlah ke mari. Oh, iya mau tanyalah. Ini wifi kita pakai wifi apa ya?” Kuperhatikan lagi benda bersegi putih berantena berkedip-kedip hijau yang nempel di dinding dekat pintu masuk kantor. “IndiHome bukan?” Kudengar dulunya sih begitu.

“Iya Kak.”

“Itu cara masuknya bayar berapa?”

“Kalau pakai IndiHome nggak bayar kak masuknya. Langsung bayar bulanannya aja.”

Aku mengangguk paham jadi semakin yakin kalau suatu hari nanti setelah finansial ada pakai wifi. “Bulananya berapa tuh?”

“Sekitar dua ratusan lebih Kak. Bentar ya kutunjukkan dulu ya pembayaran bulan lalu,” ucapnya sembari menunjukkan nota pembayaran. “Ngapain Kakak pasang wifi kan sayang kalau di rumah.”

“Kami di rumah banyak orang. Kalau sampai empat orang per bulanannya seratus ribu. Apa enggak mahal juga kalau ditotalin.” Kalau pakai wifi rasanya IndiHome, aktivitas tanpa batas saja tanpa harus memikirkan tinggal berapa Gigabyte lagi ya di akhir bulan.

Aku memang tak tahu nasibku di kemudian hari, tapi satu hal yang dapat kusyukuri dalam hidup. Ranah penulisan mampu kuperjuangkan lagi seiring berjalan meningkatkanya keberanianku. Apalagi semakin banyaknya event menulis, termasuk #IndiHomenulis.

Previous
Next Post »