Banten dan Kesenian Debus yang Tak Pernah Jauh

Banten dan Kesenian Debus yang Tak Pernah Jauh
Ilustrasi Kesenian Debus dari Banten

Aku berusaha menyisir rambut malam ini, sembari mengingat sejenak tentang tetanggaku. Kenapa, kenapa harus tetanggaku dari semua tentang ingatan yang ada episode kehidupan? Karena kak Kholi yang merupakan Pejuang Pemburu Lomba sedang menyelesaikan naskah cerita pendeknya tentang Banten. 

Saat kutahu ia menuliskan daftar tulisan apa yang sedang digarapnya hari ini. Aku merasa bisa ikut menyusulnya dikarenakan selama ini hobiku berkelana dengan hal fiksi. Hanya saja, itu sudah lama sekali. Aku bahkan sempat kehilangan cara bagaimana harus memulainya kembali. Itu fase yang paling sulit setelah sekian lama tidak menulis kembali. Tidak ingin membuang waktu, kupaksakan jariku untuk mengetikkan sesuatu hingga akhirnya terbentuk paragraf tentang kisah yang bertemakan tentang Banten.

Hal yang kutahu dulunya tetanggaku merupakan orang Banten. Tema yang digarap Kak Kholi kali ini sangat menarik. Katanya ia sudah cukup memiliki banyak data untuk menuliskan kisahnya dalam sebuah cerita pendek. Sementara aku sudah demam duluan kalau urusan riset meriset di waktu yang sangat sempit. Sebal, belum juga dimulai sudah kalah duluan. 

Setelah kepikiran menulis artikel tentang pesona budaya Indonesia, semakin besar pula rasa ingin tahuku tentang Budaya lainnya. Nggak usah jauh-jauh, mulai dari tetangga yang dekat dulu.  Budaya setiap orang berbeda-beda. Hingga ingatanku menjejak pada tradisi di masa silam yang pernah kutahu. Salah satunya debus.

"Sedang lihat apa Arumi?" tanya Mama penasaran. Kedua bola matanya memantau layar gawaiku sore ini.

"Ini Ma debus," ucapku gamblang. Padahal dulunya semasa kecil. Kalau ada atraksi debus, bukannya aku malah lari ya? Hanya menikmati keheboan dari pengeras suara belaka. Soalnya kelihatannya seram sekali. Adegan yang berdarah-darah itu membuatku tak berani mendekati sama sekali. 
Mama melihatnya dan aku penasaran dengan bagaimana prosesnya bisa seperti itu. Apa hebatnya dengan debus? Debus juga pernah dimainkan di daerah kami. Jadi, kupikir budaya yang seperti itu sepertinya berkeliling untuk memperkenalkan budaya luar sebenarnya. Hanya saja, namanya anak-anak, "manalah kutahu." Melihat, tanpa memahami dan mempraktikkan tanpa tahu bagaimana resikonya. 
"Ih, serem banget Arumi. Itu pakai endang loh makanya bisa begitu. Kalau orang biasa saja bisa gawat."
Aku pun juga setuju mengangguk, beberapa kesenian yang serupa juga menggunakan energi tak kasat mata dalam atraksinya. Makhluk yang tak kasat mata merasuki diri, tapi apakah benar? Saking penasarannya aku mencari tahu asal-usul debus yang ternyata berasal dari Banten. Banten? Oh, tetanggaku dulunya mah orang Banten.

Ternyata, kesenian debus ini ada sejak abab ke-16, pada masa pemerintahannya Maulana Hasanuddin dari Banten. Tepatnya pada tahun 1532-1570 sebagai sarana dalam menyebarkan Agama Islam. Yah, intinya untuk menjadi pemain debus juga harus melalui beragam ritual. Bedanya mereka itu dengan mantra bahasa Arab seperti selawatan salah satunya. 

Masih penasaran dengan pelaku sang debus. Pencarianku di aplikasi merah sampai pada sebuah judul video "Nyawa Taruhannya! Pengakuan Pelaku Kesenian Debus". Sang Narasumber mulai bercerita pengalamannya selama ini. "Saya tuh, sebelum terjun di dunia debus ya berguru sama Abah dari satu gunung kemudian baca selawat. Setelah itu shalat Hajat."

Deg! Shalat Hajat? Seakan ada ingatan yang lain dalam benakku yang tidak asing. Tentang malam-malam yang dulunya pernah kujalani, tapi ya enggak minta yang aneh-aneh kok. Hanya saja, aku tuh enggak ada gurunya saja. Enggak, enggak. Ingatan itu hanyalah masa lalu yang enggak ada maknanya sama sekali. Yah, intinya kesenian Debus ini merupakan sebuah atraksi Ilmu kebal saja.

Perjalanan ceritanya sangat menarik. Sayang sekali baterai gawaiku sudah sekarat. Harus kuakhiri berselancar di dunia maya kali ini. Mungkin sudah waktunya aku melanjutkan ceritaku yang belum usai. Tentang tetanggaku yang kini sudah tidak tinggal lagi di sebelah rumahku. Rumah itu sudah lama kosong dan aku selalu menunggu. Siapakah tetangga yang beruntung menjadi tetanggaku. Katanya, jika ingin tinggal di suatu tempat. Maka perhatikan tetangganya.  
Aku percaya, tetangga adalah salah satu orang yang terdekat dengan kita. Apalagi tetangga depan rumah. Salah satu penghuni rumah itu dulunya ada yang sebaya denganku. Namanya Iqbal. Sejak kecil kami selalu bermain bersama. Walaupun dia dan aku berbeda jenis kelamin. 

"Ma, dulu Arumi tomboi ya?" tanyaku mengklarifikasi. 

"Enggak kok Arumi."

"Iyalah Ma. Potongan rambut Arumi aja pendek. Hobinya manjat pohon lagi, terus main perang-perangan sama Iqbal." Mana bisa aku melupakan masa-masa indah senyum bahagia. Eh, kok malah jadi mengikuti soundtrack lagu. 

"Oh, yang dulu Mama sering jemputi kalau kamu enggak ada di rumah saat hari Minggu. Sudah pastilah, ke mana lagi kalau bukan ke tetangga sebelah."
"Ma, kenapa sih Mama sering banget bilangi tetangga itu Banten?" Harusnya pertanyaan itu kujawab duluan di mana letaknya Banten itu. 

"Memang tetangga kita itu orang Banten Arumi."

Aku ber-oh ria seketika. Banten yang dalam pikiranku tempatnya sangat jauh sekali. Katanya Iqbal sudah pindah ke Banten sejak aku menginjakkan usia dua belas tahun. Teman masa kecilku. Setahuku letak Banten itu di Ujung Barat Pulau Jawa, Indonesia. Tiada harapan untuk bertemu dengannya, itulah yang tersimpan dalam benakku. Ia sudah jauh sekali dari pandanganku. Apalagi setelah yang punya rumah meninggal dunia. Terus disusul juga anaknya. Rumah itu seakan memiliki misteri tersendiri. Entah mungkin karena memang takdir dunia atau mungkin ada sesuatu yang janggal.

Aku menghela napas dan mengumpulkan energi malam ini. Kulihat postingan populer minggu ini salah satunya adalah Batik Bantengan. Sebuah motif Batik yang terinspirasi dari kesenian Bantengan dari Jawa Timur. Yah, mode atraksi yang mengundang keramaian juga. Seingatku, sewaktu merisetnya. Aku juga nggak bisa tidur memikirkan bagaimana bisa Kesenian ini diaplikasikan ke dalam sebuah batik. Apalagi demam juga ikutan melanda sebelum memulainya. Lagi-lagi ketakutan sebelum memulai selalu menjadi musuh alami bagi diriku sebagai seorang penulis. 

Setelah kucari lagi bentuk motifnya seperti apa. Aku terpukau seketika. Wuah, ternyata begitu indah sekali. Padahal awalnya Kesenian Bantengan ini juga kelihatan seram juga. Eh, kok bisa ya disulap menjadi sesuatu yang lebih indah di pandangan mata dan bisa digunakan sebagai identitas lokal. Apalagi setelah ia mampu membuatnya hingga ke kancah Internasional dan menghasilkan pundi-pundi yang lumayan untuk menyejahterakan warga setempat. 

Penasaran dengan batik ini. Aku segera mengarahkan pencarian ke sumber pencarian dengan kata kunci 'Motif Batik Banten'. Ternyata karakteristiknya yang mode cerah gitu. Menurut ringkasan AI sendiri Batik Banten kaya akan motif yang terinspirasi dari peninggalan Sejarah Kesultanan Banten, seperti Pameranggen, Datulaya, dan Pasepen. Seketika pengetahuanku semakin bertambah dan menarik perhatian menjadikan Sejarah ini sebagai kisah yang patut dikombinasi dengan cerita masa kini. Yah, hitung-hitung menelusuri sejarah lewat cerita.

"Ma, gimana kalau kesenian Debus ini jadi ide Batik Banten. Pasti keren juga?"
Mama mengerutkan dahi. "Ada-ada aja dirimu Arumi. Batik itu kan ada ragamnya sendiri. Masa buat-buat sendiri." 

"Yeh, Mama nih. Kalau berkreasi kan tanpa batas ya. Biasanya orang seni itu idenya memang di luar parkiran. Eh, di luar dugaan maksudnya. Pameran kemarin aja yang cuma abstrak doang bisa jadi terkenal. Soalnya kan setiap seni pasti punya pesannya sendiri dalam menyampaikan makna."

"Biasanya tuh kan Arumi. Kalau yang ngusulin ide, berarti dia sendiri yang bakalan mewujudkannya."

"Enggaklah Ma, enggak harus kok. Sekarang ini ada juga kok yang kerjaannya tukang ngide. Terus yang laksanakan orang lain. Kalau menunggu apa-apa bisa diwujudkan, yah entah sampai kapan. Soalnya keahlian setiap orang itu beda-beda Ma," ucapku percaya diri. Tumben Mama asyik diajakin ngobrol malam ini. 

"Yah, kalau ada yang nampung itu bagus banget Arumi."

"Begitulah Ma."

Baru-baru ini aku baru menyadari. Terkadang ada sebuah tempat yang hanya menjadi sebuah julukan belaka. Kupikir, aku tidak akan pernah menemukan Iqbal di masa depanku. Banten yang dimaksud adalah Jalan Banten. Letaknya tidak jauh dari rumahku jika mengenakan sepeda motor. Sekitar dua puluh menit dari rumah. 

"Ma, ternyata Jalan Banten itu letaknya di Pasar 4 Helvetia. ya."

"Iya Arumi. Kok tahu?"

"Kan Arumi SMA-nya di daerah sana. Teman-teman tinggalnya juga sekitaran sana."
Saat ini, setiap lewat ke arah sana. Aku selalu melirik dagangan keluarga Iqbal yang berjualan Mie Balap. Kadang-kadang dia hadir di sana membantu kedua orangtuanya. Sayang, sampai saat ini aku belum berani untuk menyapanya. Semoga suatu hari nanti kami bisa saling menyapa kembali. 


Glosarium 

Endang : sebutan orang Jawa memiliki makna panggilan roh

Serba-Serbi Drama Menulis

Kalau dilihat dari judulnya saja, sudah jelas banget ini namanya uji nyali kalau di saya. Alih-alih kebiasaan nulis bab novel setiap harinya, malah percobaan nulis cerpen di waktu yang mepet deadline. Pengalaman juga bukan sekali, tapi juga beberapa kali. Tulisan ini tuh awalnya memang diperuntukkan untuk mengikuti lomba cerpen yang diadakan di Pemerintahan kota Banten. 

Menurut pengalaman kalau hari terakhir tanggal 10 misalnya. Maka bukan berarti jam 23:59 WIB penutupannya seperti yang biasa kita lalui. Bisa saja di mereka jam 10 pagi, jam dua siang. Pokoknya ya suka-suka merekalah. Belum lagi harus beli materai dan yap harga materai udah bisa beli semangkok bakso atau sebungkus nasi padang yang lauknya telur. Jadi, sebelum masuk ke proses itu. Lihat dulu di Instagram peyelenggara, rupanya banyak yang protes nggak bisa ngirim. Alias ditutup. Selamat deh, nggak jadi beli materai dan akhirnya saya putuskan untuk mengunggahnya di sini. 
Sebenarnya ada juga yang unik saat saya meriset sebelum menulis cerpen ini, tapi nggak jadi dimasukan dalam cerita, yaitu tanggapan dari si Pesulap Merah, dia sempat bilang Kenapa ada orang tuh lidahnya dikasih pedang, kok enggak berdarah? Ya, karena itu dia mau ngasih tahu kalau lidah itu lebih tajam daripada pedang. 
Yah, kalau dipikir-pikir iya juga sih. 

Previous
Next Post »