![]() |
Ilustrasi Ilustrasi Pejuang Rupiah VS Ikan Pecah Perut |
Kedua kelopak mataku berat,
sungguh berat sekali sore ini. Padahal Maghrib juga belum usai. Tidak, aku
belum boleh tidur. Masih banyak serangkaian produktivitas yang harus
kukerjakan. Rasanya jenuh sekali. Bagaimana bisa, di saat kurang tidur seperti
ini. Ujian malah datang sesuka hati. Siapa yang tak bete coba. Tiba-tiba
sesuatu yang diharapkan justru berbalik arah. Seharusnya aku sudah beristirahat
sebelum Maghrib tiba. Namun yang kudapati, aku mendapatkan pekerjaan tambahan.
Bu Mia tak datang. Katanya ia sedang tidak enak badan. Yah, aku juga sama.
Bedanya kupaksakan saja.
“Astaghfirullah …” Aku mencoba menghela napas, menghidu oksigen
sebanyak mungkin ke dalam paru-paru. Rasanya, jari-jariku gemetaran untuk
menulis. Sudah lama sekali tidak menulis, rangkaian kisah penuh tanya dan
mengabadikannya dalam jejeran aksara.
Aku mengambil tas sampir merah
jambuku. Sebuah tas legenderis yang diberikan Ibu Sumi, salah satu guru senior
yang ada di sekolah Tadinya Mesra dua tahun lalu. Tepat, dua bulan setelah aku
memutuskan mengundurkan diri dari sekolah itu. Tak kusangka, takdir justru
membawaku kembali ke sekolah itu. Sekolah yang kupikir bukan menjadi ranahku
untuk menghidupi diri selain mencerdaskan anak bangsa.
Kini kuhitung satu per satu
lembaran rupiah yang baru saja kudapatkan karena menggantikan temanku hari ini.
Lembaran yang sudah lama tidak pernah kupegang kembali setelah delapan bulan
lalu. Aku resmi menjadi pengangguran pada waktu itu. Atas dalih memulihkan
diri. Setelah sakit yang menerpa diriku.
Bagi sebagian orang. Uang
tampaknya adalah hal yang paling mudah didapat. Sementara bagi diriku, uang
adalah sesuatu yang bisa pergi kapan saja. Namun untuk mendapatkannya,
tampaknya aku tak boleh memberikan ruang harapan yang besar. Katanya, perempuan
tak perlu terlalu memusingkan mencari nafkah. Sebab ia ditakdirkan sebagai
tulang rusuk kehidupan. Bukannya tulang punggung keluarga.
Aku sungguh percaya akan hal itu.
Sebab, sebagaimana pun aku berusaha mencari nafkah untuk menghidupi diriku.
Ujung-ujungnya aku berada di barisan penerima nafkah. Suatu hari nanti, suatu
waktu yang tidak kutahu kapan itu kedatangannya. Bisa itu dalam waktu dekat
ataupun dalam waktu yang tidak ditentukan.
“Pi, Pi. Calon suamimu itu ya
hitam,” ucap Mama malam ini.
“Ya, enggak apa-apa Ma. Walaupun
hitam, dia itu manis dan paling penting dia mau samaku loh Ma. Percuma Ma, mau
cakep ataupun kaya raya. Kalau enggak mau samaku sama aja.”
“Iya ya Pi. Namanya kau cinta
sama dia. Makanya kau bilang dia ganteng.”
Bagiku, untuk membuat orang lain
menjadi kelihatan lebih tampan adalah dengan tidak melihat orang lain. Aku
tidak memandang sisi itu dari calon suamiku itu. Namun sisi yang berbeda, saat
aku memutuskan untuk mendekatinya lebih dahulu. Sebelum kubuka ruang
lebar-lebar. “Aku saja tidak menyangka Ma. Akhirnya setelah sekian lama. Justru
karena pengangguran inilah aku bisa menemukannya. Kalau enggak pun. Sampai
sekarang aku hobinya kerja terus.” Yah kadangkala bukannya kerja yang dibayar,
melainkan seringnya bekerja tanpa pamrih.
“Iya, itu gimana ceritanya Pia.
Kok bisa dia mau samamu.”
“Panjanglah Ma ceritanya, tapi
intinya begitu. Hubungan itu memang harus saling memperjuangkan. Buktinya dia
datang ke rumah duluan kan. Beda dari yang lain. Enggak kunjung datang,
walaupun sudah terlanjur nyaman.” Sungguh, aku tidak mungkin menceritakan
skenario panjang bagaimana bisa aku sedang dalam fase berusaha saling mengenal
sebelum ke jenjang berikutnya. Rasanya seperti lorong waktu yang hendak
disusuri. Namun yang pasti aku belajar arti kesederhanaan, kerja keras, dan
rasa syukur darinya. Salah satu poin yang membuatku tertarik dengannya adalah
ketika aku mendengar ia mampu mengolah keuangan. Menarik juga.
Ingatanku kembali pada
percakapanku dengan Ibu Sinta, temannya Ibu Sumi siang tadi sebelum masuk
kelas. Kami berbincang tentang satu hal. Bagaimana tentang kehidupan rumah
tangga era saat ini.
“Kamu gimana Pia. Dia gajinya
berapa?”
“Tiga juta Bu,” ucapku yakin.
Seingatku itu yang pernah ia ucapkan pada Mama ketika pertama kali datang ke
rumah. Sejujurnya menanyakan gaji adalah hal yang sensitif. Namun bagi seorang
pria, itu yang selalu ditanyakan di saat pertama kali hendak mendekati
wanitanya. Apakah ini bagian dari skenario matre? Tentu tidak. Pada kehidupan
yang serba tidak pasti ini. Orang-orang selalu mencoba untuk realistis.
“Oh. Gitu ya Pia. Kalau begitu,
kamu juga harus bantu dia. Tiga juta sebenarnya enggak cukup kalau berkeluarga.
Dianya satu juta. Kamunya dua juta. Kalau makan ya ala kadarnya Pia. Soalnya
apa-apa itu serba mahal. Apalagi kalau kalian tinggalnya nyewa.”
Tunggu-tunggu, sebentar. Mamaku
selama ini juga hanya diberikan dua juta per bulan oleh ayah. “Pantesan Bu.
Mama hanya sanggup membeli ikan pecah perut.” Ikan pecah perut, jelas bukanlah
ikan yang segar. “Sayangnya ayah selalu menuntut makan-makanan yang enak. Kalau
Pia Bu, untuk memberikan pengertian. Ajak ayah belanja, daripada Pia dikasih
uang. Supaya mengerti gitu.”
Ibu Sinta tertawa. “Iyalah Pia.
Makanya hanya bisa ikan pecah perut. Terus bayam sama terilah.”
“Itulah Bu, untuk menghadapi itu
Pia belajar menanam buat suatu hari nanti kalau lagi masa kritisnya. Kalau bisa
sekalian pu melihara ikan.” Aku teringat, bagaimana calon Suamiku berusaha
untuk menghemat pengeluarannya. Alih-alih ia seolah pelit terhadap dirinya
sendiri. Kadangkala, sering kusaksikan ia harus bergerumul ria dengan teriknya
panas ataupun dengan beban berat yang menopang tubuhnya. Ia tidak gengsian.
Saat teman-temannya sudah berumur dan berkeluarga. Meski ia hanya seorang buruh
dan aku seorang guru. Bagiku dia juga merupakan guru kehidupan juga.
“Nah, itu Pia. Kau kan pintar.
Bisa nyari dari mana saja.”
Lagi-lagi, julukan itu selalu
yang menjadi kartu As orang lain untuk menyarankanku akan suatu hal. “Iya Bu.
Sebelum Pia menikah nanti, Pia sedang mempersiapkannya saat ini. Mungkin bukan
sekarang, tapi nanti berpenghasilannya.”
“Nah, makanya itu yang konten
kreator aja pun jadi pengusaha rata-rata.” Ibu Sinta menunjukkan orang-orang
dengan jumlah pengikut banyak yang memberikan sebuah postingan sebuah
penghasilan dari konten.
“Pia sebenarnya begitu juga, cuma
lagi fokus di tulisan saja. Katanya buat penghasilan tiga bulan per bulan itu
harus menulis sebanyak 1000 artikel. Pantesan, mereka itu ya Bu postingannya
bisa sampai ribuan juga. Makanya bisa mengumrohkan anggotanya.” Baiklah mimpi
saja terus Pia. Padahal selama ini, rekam jejakku tidak menghasilkan apa-apa.
Selain hinaan karena disangka pengangguran hanya di depan laptop menulis
artikel di blog yang dibangun sendiri.
“Nah, itulah Pia. Pesan ibu gitu.
Kamu sebaiknya bisa bantu suamimu itu kalau mau hidup yang penuh dengan gizi.
Pintar-pintarlah.”
Aku mengangguk dan memutuskan
kembali ke kelas untuk mengajar anak-anak. Meski rasanya panas dingin, tapi
beginilah pejuang rupiah itu.
SELESAI