Ketika Monna Mengejar Harapan

Ketika Monna Mengejar Harapan
Sebagai Ceo-Mentor pada kelas resensi. Saya mulai berani meresensi suatu karya. Yeay, setelah sekian purnama hanya sekadar wacana dan angan-angan saja. Sebenarnya sudah banyak juga buku yang sudah dibaca. Belajar tanpa bimbingan terkadang membuat diri enggak pecaya diri. Hingga terkadang saya bingung dengan apa yang sudah dituliskan. Ini sebenarnya review atau resensi ya. Tuh kan, bingung sendiri. #plak Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada kak Dewi Khairani yang sudah bersedia membimbing di kelas resensensi. Kepada teman-teman yang lain juga. Merekalah yang membuat saya semakin semangat. Asyik. 



Oke ...

Jangan lupa silahkan like, comment, dan Follow. Hehe ...
Buku ini bisa kalian baca di aplikasi ipusnas. Nah, berhubung jumlah kata di Instagram itu terbatas. Kan sayang enggak ada yang baca. Jadi di sini aja deh.

Judul buku      : Running For Hope
Penulis            : Dona Sikoembang
ISBN               : 978-602-7888-15-9
Penerbit           : Mizan
Tahun terbit     : 2013
Tebal/ukuran   : viii+236 halaman /20,5 cm

Setiap orang pasti tidak menginginkan berkecimpung di dalam kemiskinan. Apalagi sudah turun-temurun dari nenek moyang. Namun apakah miskin itu adalah keturunan? Bukankah kehidupan bisa diubah jika mau berusaha? Monna selalu mempertanyakan hal itu.

Kisah Monna bercerita tentang cita-citanya yang ingin berkuliah di Universitas Indonesia dan menjadi seorang sarjana hukum. Pada hari kelulusan SMA ia harus menemukan fakta bahwa kehidupan perekonomiannya tidak mengizinkan ia berkuliah. Ayah bekerja sebagai tukang ojek dan menghidupi keempat Putrinya dan istrinya yang sakit-sakitan. Malam itu, setelah makan malam. Ia menyampaikan keinginannya pada sang ayah. Kendati mengharapkan restu, sang ayah marah besar dengan menjatuhkah piring kemudian pergi dari rumah.

Monna yang kerap dipanggil Nana ini sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Keesokan paginya sang ayah memperbolehkannya untuk mengikuti ujian perguruan tinggi. Ayahnya berhenti menjadi tukang ojek dan menjual kereta untuk biaya perjalanan Nana mengikuti ujian. Betapa Monna sangat bahagia. Ia sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari untuk mengikuti ujian tersebut. Namun pada saat ia hampir menyelesaikan ujiannya. Lembar jawaban jatuh ke lantai dan terpijak oleh seseorang.  Akhirnya, ia pasrah pada impiannya menjadi seorang mahasiswa.

Kisah piluh yang Nana alami mengajarkan kita tentang arti kesabaran. Nasib malangnya belum sampai di situ. Ia menemukan fakta bahwa ia merindukan keluarga ketika ia berada di kota. Kehidupan perkotaan justru tidak seperti apa yang ia pikirkan. Meskipun Nana mendapatkan makanan dengan lauk ayam. Ia tidak berselera. Justru ia rindu dengan masakan ibunya yang hanya sekadar nasi saja.

Kisah ini bersetting Minangkabau. Hidup di desa dengan segala kekurangan. Monna hanya ingin hidup jauh lebih baik dari kesengsaraan. “Berlama-lama meratapi kesedihan bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah karena aku tahu sesungguhnya hidup bukanlah seperti cerita di layar kaca. Tidak akan ada bidadari cantik bersayap putih memainkan tongkat ajaibnya dan mengubah semua seperti yang kuinginkan. Inilah hidup yang sebenarnya dan akulah bidadari yang akan menyulap kehidupanku sendiri menjadi yang kumau.” (Halaman 121)

Penulisan dengan sudut pandang pertama ini benar-benar membuat jalan cerita terasa hidup. Apalagi kondisi jiwa tokoh utama sendiri. Bagaimana pilu dan tegarnya ia harus menghadapi rintangan dalam kehidupan. Bersabar dan tidak mengeluh merupakan makna tersirat dari Monna yang selalu memikirkan jalan keluar dari setiap permasalahan.

Kisah ini bukan hanya tentang kesengsaraan Monna saja. Melainkan teka-teki yang harus dijawab bersama melalui serangkaian kejadian skenario-Nya. Bumbu cinta juga mengisi kehidupan Monna dengan si Timur. Kehidupan saudari Monna yang turut disajikan membuat alurnya mengalir.
Memiliki mimpi itu seakan memberikan harapan baru untuk tetap berusaha dan senang menghadapi segala rintangan. Lalu bagaimana apabila mimpi itu tidak terwujud? Apakah akan menjelma menjadi sebuah kegilaan atau hal yang lain? Sekali lagi Monna menjawabnya dengan serangkaian kejadian Running for Hope yang artinya mengejar harapan. Karena hal itulah yang membuatnya merasa selalu hidup,
Penulisnya sendiri berlatar belakang SMA. Seolah memberikan sebuah gambaran bahwa kisah Running for Hope ini berdasarkan kisah nyata pengalaman hidupnya.
Penyajian awal dan akhir kisah sangat membuat terkesan. Hanya saja pada penyajikan kisah cinta si Monna sedikit kurang memuaskan. Hanya berdasarkan perasaan si Monna sehingga titik terang masih belum kelihatan meskipun cerita mendekati ending.

Buku ini cocok kepada siapa saja memiliki harapan dalam kehidupan. Jika pun belum menemukan harapan akan memberikan sebuah pencerahan tentang harapan itu sendiri. Sebab harapan akan membuat diri terasa hidup.

Kira-kira begitulah yang bisa saya resensi. Kira-kira ada yang merekomendasikan buku yang mau diresensi nggak? Tapi, bukunya tersedia di ipusnas ya. 

Terima kasih. 



Enggak Bahagia, Mungkin Saya Bisa Melakukan Empat Hal Ini


Terkadang saya sering bermonolog dalam diri. Apakah saya bahagia? Kayaknya saya baperan deh orangnya. Sedikit-dikit ngerasa sakit hati dengan sendirinya. Bermacam-macam spekulasi mulai hadir di dalam diri saya dengan sendirinya. Parahnya sempat berpikir kalau saya nih sudah dilingkupi dengan Jin. Naudzubillah. Wallahu’alam.
Sebenarnya otak saya masih bisa membedakan mana yang seharusnya dilakukan. Entah kenapa rasa malas itu lebih cepat tanggap untuk membujuk saya untuk tidak melakukan pekerjaan yang positif. Akhirnya hanya bisa rebahan dan rebahan hanya demi menenangkan suasana hati yang buruk. Seketika saya langsung tersadar dengan sendirinya. Waktu ini sudah berjalan begitu saja tanpa ada sesuatu yang membekas. Misalnya enggak produktif gitu. Namun setelah dipikir-pikir lagi kalaulah saya kerjanya hanya rebahan saja. Saya malah enggak merasa berguna kecuali menghabiskan waktu untuk menua.
Ketika menginjakkan di usia yang 22 tahun ini. Terkadang saya malah merasa terlambat untuk mempelajari itu semua. Sedangkan tak jarang teman yang sebaya saja sudah berpenghasilan dari kemampuan dan pengetahuan yang mereka miliki. Bahkan mereka sudah membahagiakan kedua orang tuanya.
Padahal konsep berpikir seperti  itulah yang malah membuat saya celaka dan tak mampu berkembang. Kemudian sekelebat pemikiran lainnya pun hadir. Mengapa tidak mengingat nasip orang yang jauh lebih malang? Setelah memikirkan itu semua. Akhirnya saya menemukan sebuah langkah untuk menemukan kebahagiaan dalam hidup yang ujungnya mencintai diri sendiri. Ada empat hal yang bisa saya lakukan untuk mencapai kebahagian itu:
1.      Tidak Perlu Iri dengan Orang Lain
Hal mendasar yang bisa saya lakukan adalah dengan tidak perlu iri dengan orang lain. Khususnya lagi perkara fisik dan kekayaan. Hanya dengan mengirikan orang lain, hati akan menjadi sakit tidak karuan. Bahkan melakukan hal-hal yang tidak penting. Iya, rasanya buang-buang energi saja jika iri dengan orang lain.
Si A kok cantik ya orangnya?
Si A juga punya duit?

Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain jika membuat diri sakit. Apalagi sampai bertindak hal yang tidak baik hanya untuk menjatuhkan si A. Sikap iri hati tersebut akan mengarah pada kejulitan atau dengki.
Cara mudah untuk tidak iri dengan orang lain katakanlah si A tadi adalah dengan tidak memikirkannya.
2     Syukuri Apa yang Ada
Ini kembali pada diri sendiri. Setelah enggak memikirkan si A lagi. Gimana rasanya kalau fokus melihat apa yang ada di dalam diri? Misalnya mata yang masih bisa melihat, telinga yang masih bisa mendengar, tangan yang masih bisa digunakan, dan kaki yang bisa berjalan. Apalagi nikmat kesehatan itu masih ada. Maka ingatlah dengan kandungan surah Ar-Rahman yang selalu diulang tentang Nikmat manakah yang engkau dustakan?
Kalau masih kurang bersyukur lagi. Coba lihatlah dulu orang yang enggak lengkap anggota tubuhnya atau orang yang tinggal di jalanan. Tentu kita yang sehat dan tiada cacat fisik ini merupakan orang yang beruntung. Hanya dengan begitu, hati menjadi tenang dan tentram tanpa ada beban.
3    Gali Potensi Diri
Sekadar mensyukuri apa yang ada belumlah lengkap apabila tidak menggali pontensi diri. Apalagi kita yang masih merupakan jiwa muda. Masih banyak hal-hal lainnya yang belum ditelusuri. Cobalah memahami diri sendiri terlebih dahulu. Saya itu sukanya apa ya? Atau punya bakat apa ya? Lakukanlah hal yang bisa dilakukan dan mungkin dicapai. Hanya dengan menggali potensi diri. Seiring berjalannya waktu kita akan menemukan keunggulan dalam diri dan mungkin orang lain enggak punya.
  Kelilingi Diri dengan Orang-Orang Baik
Meskipun semangat untuk tetap berjuang dari dalam diri itu memang sudah lebih hebat dari berbagai motivasi dari luar. Kita masih perlu dorongan atau pemantik untuk tetap mempertahankan motivasi ini. Apalagi motivasi seseorang itu bisa berubah-ubah seiring berjalannya waktu. Kelilingilah diri dengan orang-orang yang memiliki impian sama dan baik pula. Mereka nantinya yang tanpa kita sadari akan mengarahkan diri untuk tetap mempertahankan mimpi tersebut.

Jika cara-cara tersebut masih belum meyakinkan diri untuk bisa mencintai diri sendiri.  SatuPersen bisa membantu untuk menemukan solusi dalam hidup. Mencintai diri sendiri tidak terlepas dari namanya tujuan hidup. Salah satu pilihan yan ditawarkan Satu Persen ini adalah IKIDAI yaitu alasan untuk hidup. Setidaknya hal yang dipertanyakan dalam konsep tersebut ada empat hal:
  • Apa pekerjaan yang kamu suka? 
  • Apa pekerjaan yang kamu bisa atau ahli dalam sebuah bidang?
  • Apakah pekerjaan ini dibutuhkan banyak orang?
  • Apakah pekerjaanmu dibayar?
Pertanyaan itu sukses membuat saya memikirkan kembali dan menemukannya di video Satu Persen berikut. 



Hal inilah yang mendasari saya bisa menemukan sesuatu dalam kehidupan ini. Khususnya menemukan diri sendiri dengan cara mencintai diri dan menjadi diri sendiri.
#SatuPersenBlogCompetition

Sumber :
satupersen.net
dokumen pribadi dan desain grafis di Canva

Aktivitas di Rumah Aja Ala Harum

Aktivitas di Rumah Aja Ala Harum
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ...
Siapa bilang di rumah aja itu menyenangkan?
Bagi penulis, pembelajar, editor amatir, mahasiswi tingkat akhir, dan pengangguran ini merupakan sebuah tantangan yang luar biasa. Tadinya mau bilang itu sebuah bencana sih? Tapi enggak jadi deh. Entar terkesan tidak mensyukuri akan nikmat.

Aktivitas di rumah aja bagi sejuta umat di dunia ini.Tampaknya merupakan hal yang membosankan. Beda dengan saya sendiri yang malah merasakan sebal, galau, plus suntuk. Raga memang di rumah sih. Tetapi jiwa malah entah ke mana-mana. Khususnya media sosial ini yang membuat saya salah tingkah antara keinginan, keegoisan, dan kewajiban. Belum lagi ribuan chattingan yang menawarkan diskusi online sana-sini dalam waktu bersamaan sukses membuat WhatsApp saya kebanjiran pesan. Mau dilewatkan sayang, enggak dilewatkan malah gelisah ketinggalan informasi dan semangat lain.

Mirisnya, saya selalu saja menyelesaikan tanggung jawab itu sudah kelewatan batas waktu. Tenggat waktu yang ditentukan acap kali membuat diri ini dilema dan uring-uringan enggak jelas. Hiks, ini efek dari kepribadian saya yang suka baper. Kadang kesal sih memang. Tetapi namanya juga bawaan diri. Mau bagaimana lagi. Semua itu memang harus disyukuri dengan lapang dada. Ssst, faktanya ciri wanita itu memang seperti ini.

Okey, manusia seperti saya yang suka mengeluh ini. Tampaknya berusaha untuk tidak kehabisan akal untuk tidak bertingkah seenaknya. Semoga saja postingan esok merupakan hal yang waras dan memang sudah dipikirkan matang-matang dan bukan merupakan asal ngetik sekelebat perihal hati.

Satu hari dalam dua puluh empat jam merupakan waktu yang sangat sedikit bagi saya. Meskipun jumlah cukup. Pada waktu itu pula kewajiban saya tidak cukup dilaksanakan dan harus mengabaikan keinginan terpendam. Termasuk menulis ini merupakan jalan waktu yang dicuri. Kebetulan tengah malam dan semua orang pada tidur.

Jadi, apa sih sebenarnya yang masih salah?

Jika dipikir sekali lagi. Saya ingin tidur sekarang juga.

Selesai

Curhatan di Hari Sabtu




Assasalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh ... 
Kali ini saya mau curhat kalau hati saya sakit banget. Entah kenapa enggak tahu, seperti nyeri gitu. Terasa ada yang menikam atau menusuk-nusuk. Parah banget deh. Saya mengira bahwa intensitasnya hanya malam saja. Eh, ternyata pagi juga begitu. Kalau dipikir-pikir lagi sih, mungkin sejalan kali ya sama iman yang sedang turun dan permasalahan yang dihadapi. Hanya saja saya belajar tidak  memusingkan itu dan mengalokasikan pada ambisi dan logika. Ya, mau bagaimana lagi, ulu hati yang sakit ini sudah membuat saya muak asyik membujuknya untuk tidak sakit. Sedangkan kemungkinan yang lainnya adalah rencana yang lain terancam gagal. Kan jadi sebal sendiri.

Kembali ke blog setelah bertarung di naskah novel. Hm, sepertinya enggak ada hubungannya sama sekali. Tapi bisalah disinggung sedikit. Sebenarnya menulis novel itu merupakan cara saya untuk curhat menjadi orang lain. Yap begitulah, ketika luapan hati ingin dikeluarkan namun tokoh yang bertindak bukan saya. Kalau konten ini sih sudah pasti saya.

Sederhana sih sebenarnya kenapa saya bisa menulis maraton mati-matian kejar tayang. Motivasi yang utama di tengah deadline skripsi adalah keuangan. Siapa sih yang enggak galau dan pusing jika tidak punya uang. Memang sih uang bukan segalanya. Tetapi kebutuhan. Jalan ke kampus butuh uang, beli paket butuh uang, makan pun juga butuh uang. Meskipun saya diberikan jatah oleh orang tua setiap bulan untuk ongkos. Tetap saja tidak bisa menutupi kejadian tidak terencana dan kebutuhan lainnya.

Mulailah saya mencari cara yang insyaa Allah halal dengan kemampuan saya. Namun pada akhirnya saya gagal selalu. Gagal maning deh. Punya duit hasil kerja keras atau nabung. Eh sepeda motor rusak. Terus berhutang dan enggak punya uang lagi. Sudah senang jingkrak-jingkrak karena keterima google Adsense setelah itu ganti domain. Eh iklan enggak bisa muncul lagi karena tidak ada konten. Astaghfirullah, ngeluh aja deh.

Ehem, tak terasa nyeri di dada saya berangsur reda. Mungkin ini perkara waktu aja kali ya kan. Terkadang segala sesuatu yang terjadi itu terlihat tidak masuk akal.

Tapi kali ini saya tidak ingin membahas perihal curhatan yang berujung keluhan. Melainkan sebuah kebaruan dari curhatan. Semoga saja bisa begitu. Sebab ada banyak yang terjadi dalam setiap harinya. Begitu pula dengan prinsip dan perasaan  bisa berubah dalam sekejab.

Kalau mungkin saya yang dulunya selalu suka menulis tanpa membaca. Kini akan lebih saya usahakan untuk banyak membaca sebelum menulis. Sebab membaca dan mendengarkan adalah cara saya membuka ruang kreativitas di masa depan. Kita tidak tahu inspirasi mana yang akan tetap melekat dalam ingatan.

Untung saja saya memilih membaca buku tentang The Miracle of Sabar. Jadi perkara memusingkan enggak punya duit dan takut kehidupan terancam enggak lagi bersemayam dalam hati ini deh. Intinya berusaha dan berdoa. Berikut ini saya sertakan kata mutiara yang kebetulan kepikiran sendiri setelah membaca.


Div Element
Ketika doamu tidak dikabulkan. Ia akan menjelma menjadi ladang pahala bersebab kesabaranmu dalam berdoa.

Sebuah Penguraian Hari yang Telah yang Berlalu

Entah berapa lama saya mencoba menutup diri dari khalayak publik.
Saya yang dulunya memiliki ambisi kuat kini terlihat lemah tak berdaya.
Hanya karena sebuah skripsi.

Padahal hanya sebuah skripsi bukan?
"Tidak, mungkin saja salah memprioritaskan orang lain," ungkap sahabat saya.

Awalnya saya mengira apa yang telah berlaku pada diri saya pasti ada sebuah alasan. Saya akui memang, waktu yang telah berlalu tidak saya gunakan untuk rebahan dan rebahan. Hanya semata-mata mencari jati diri. Hingga saya menyadari bahwa seharusnya tidak seperti ini. Berpusat dan muter-muter di situ saja. Tidak ada perkembangan berupa pencapaian yang bisa dibanggakan. Bahkan orang tua saya malah kesal.

Saya yang dulunya sempat ceria ketika menemukan fakta bahwa menulis adalah bagian dalam diri saya dan merupakan terapi psikologis terbaik saat kondisi murung. Kini terpaksa saya cekal atas dalih sebuah skripsi. Kenyatannya membuat saya jungkir balik dan berujung pada sesak napas. Belum lagi merasa depresi tak terjabarkan hingga saya lebih suka tidur dan tidur lagi. Saya merasakan otak tidak bisa bekerja dan bawaannya selalu sedih. Seringkali ketahuan sedang tidur dan berdalih sedang mengerjakan skripsi.

Setiap hari terlewati, seminggu, bahkan sebulan terasa sia-sia. Ah, ini sungguh merugi.
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran." Q.S Al-Ashr ayat 1-3. Jika saya melirik lagi kandungan surah tersebut. Rasanya saya sungguh menyesal telah lari dari kenyataan. Bahkan parahnya saya telah gagal. Kondisi di mana berhenti dan menyerah. Malahan saya berharap keesokan paginya tidak menemukan pagi lagi. Ironinya saya masih ada sampai saat ini. Kehidupan masih tetap berlangsung. Suka atau tidaknya. Waktu terus terlewati begitu saja tanpa peduli saya berada di posisi yang mana.

Terlebih lagi saya menemukan sebuah pernyataan dalam surah Al-Hijr ayat 56 bahwa tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat. Kalau begitu, keputus-asaan yang telah saya lalui merupakan kesesatan.

Pada bulan ini saya mulai berpikir kembali. Pasti ada sesuatu yang harus saya jalani. Masih ada misi yang belum diselesaikan dan saya tidak boleh pergi sebelum menyelesaikan skenario-Nya. Begitu bukan?

Saya akui memang, ilmu yang saya pelajari ketika kuliah tidak melekat dalam hati. Bahkan lima tahun telah saya lalui masih belum cukup membuat saya jatuh cinta pada jurusan sendiri. Entah bagaimana caranya saya bisa dekat. Berulang kali saya mencobanya malah berujung kesia-siaan. Sulit sekali membuka hati. Apalagi ke semua itu didorong dengan hal-hal yang tidak penting.

Ada sebuah pernyataan yang sedang booming bahwa lulusan sarjana itu tidak menjamin kesuksesan atau kesesuaian seseorang dalam jurusan dan pekerjaan. Ya misalnya seseorang yang lulusan di bidang ekonomi seharusnya bekerja sebagai pengusaha tapi malah bekerja sebagai buruh. Saya mengira itu adalah sebuah kesalahan. Sebab persepsi seperti itulah yang membuat orang akan berpikiran sama pada setiap lulusan sarjana. Tapi kenyataannya. Memang ada yang seperti itu dan tidak pula menutup kemungkinan.

Sebenarnya menurut saya bukan instansi atau universitasnya yang salah. Tetapi balik lagi kepada orang yang menjalaninya. Pada akhirnya itu tidak terlepas pada pilihan. Setiap orang berhak menentukan pilihan dalam hidupnya. Apakah tetap bertahan dengan kondisinya atau melarikan diri demi sebuah kebahagiaan? Kehidupan ini terlalu disayangkan jika dihabiskan untuk kesedihan.

"Sebaik-baiknya manusia adalah bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad, no 3289) Kini saya pun tidak menuntut seperti itu. Jika saya tak mampu dalam kondisi itu. Setidaknya saya akan memulainya dengan memanfaatkan diri saya sebagaimana mestinya. Seperti hari-hari sebagaimana mestinya. Bangun di pagi hari dan tidur di malam hari. Tidak seperti kehidupan saya sebelumnya. Tidak peduli siang maupun malam saya akan tetap tidur.

Kebiasaan baik itu perlu diulang dan diasah kembali. Bahkan semangat yang saya miliki dimulai dari nol kembali. Saya berharap ke depannya bisa menjadi pribadi yang tangguh di setiap keadaan.

Me In The Future

  • cepat tanggap
  • rajin
  • tidak baperan
  • sabar
  • tidak egois
  • idealis
  • fokus pada tujuan
  • planner


Kenangan


kenangan
membawa sukmaku berlabuh
terenyuh setiap untaian di bibir tipismu
mengalun kerinduan bercengkerama
tak ubahnya kepastian belaka
bayanganmu menyemai wajah
tersusut dalam sebuah ilusi
harmonisasi menyendiri
kuharap
kita adalah pelebur nestapa

rumah kita, 18 Maret

_Intro_
Puisi ini saya tuliskann untuk adik saya yang berada di sana
semoga kalian dalam keadaan baik-baik saja dan selalu dilindungi Allah swt.

RDH-Episode 1-Pendatang Baru


Jika ingin mendengarkan backsound musicnya bisa mendengarkannya. Song by Al-Khadijah dengan judul Syaikhona. 



Asyifa mengikuti barisan yang ada di depannya. Rela berdesak-desakan hanya ingin bersalaman secara langsung dengan tokoh idola. Orang-orang mulai sibuk dengan tujuan mereka sedangkan suasana tidak begitu sumringah. Angin yang berembus mesra menemani ruang lingkup tersebut. Ia sudah memastikan penampilannya cukup sopan kali ini dengan gamis kesukaannya.
Beberapa menit kemudian ia benar-benar menemui wajah tampan itu. Lelaki yang mampu memporak-porandakan jantungnya dan membangkitkan hormon dopaminnya. Kini di mata Asyifa lelaki itu terlihat sangat menawan dengan kemeja cokelat kehijauan yang ia kenakan. Asyifa menangkupkan telapak tangannya seraya tersenyum dan dihadiahi pula senyuman yang sama. Ia salah tingkah dan menyentuh pucuk telapak tangan yang sama-sama menangkup itu.
“Duh, dasar bodoh! Seharusnya aku bisa mencegah diriku tadi,” runtuknya. Ia merasa konyol dengan serangan yang ia lakukan. Alih-alih menjaga dirinya ala ukhti malah menelantarkannya keshalehannya. Ia tidak bisa membendung rasa sukanya. Malah terbelenggu dalam hasratnya dan orang-orang tetap tidak ada yang peduli dengan dirinya. Asyifa sendirian menyikapi hatinya yang menyatakan sedang bahagia. Tenang dan memenuhi ruang kosong dalam kalbunya.
Asyifa masuk ke ruang kelas dan menggendong beberapa buku besar di tangannya. Belajar fisika benar-benar membuatnya serabutan. Pertama, pelajaran itu rumit. Kedua ia tidak menyukai pelajaran tersebut. Entah karma mana yang harus ia tanggung atas keputusan pendeknya bertahun-tahun lalu. Hingga saat ini ia tidak mencintai ruang lingkupnya sendiri. Payah, seharusnya ia memilih memperjuangkan mimpinya.
Tapi, toh itu semua tidak akan merubah takdir yang sudah digariskan untuknya di masa lalu. Masa depannya tetap bisa Asyifa putuskan bagaimana arah dan tujuannya. Bahagia atau suramkah? Ia tidak ingin melewati masa bahagianya dengan kesuraman belaka.
Beberapa menit kemudian pria  yang Asyifa tunggu masuk ke dalam dan duduk di samping kirinya. Kedua pipinya merona hebat saat langkah pria itu mendaratkan diri di bangku. Karismatiknya sudah dapat ia deteksi saat pria itu berada di depan pintu. Asyifa merasa nyaman ketika pria itu ada di dekatnya dan membuka buku fisika juga.
“Mau belajar bersama?” pria itu menawarkan dengan santun.
Alamak, ini mimpi bukan? Asyifa benar-benar bersama pria itu. Otaknya mendadak konslet seketika dan membalikkan sakelar otomatis tentang fisika. Sedangkan ruang hati turut mendukung terang-terangan kehadiran pria itu. Apalagi pria itu memastikan mereka untuk belajar bersama. Ia memerhatikan dengan saksama apa yang diajarkan pria tersebut padanya.
Tetapi kebahagiannya tidak berlangsung lama. Pria itu dipanggil orang untuk melaksanakan sebuah tugas yang penting. Asyifa sedikit kecewa dengan keadaan yang dihadirkan saat ini. “Mana Faiz?” tanyanya pada yang lain. Teman-temannya menyuruh Asyifa mengecek sendiri keberadaan pria itu.
Asyifa melihat Faiz sedang berada di kapal memakai jeket hitam tebal dan ditemani burung-burung yang sedang terbang di atasnya. Serta ada beberapa orang-orang asing lainnya di sekitarnya melalui instagram. Beberapa bangunan kasual di belangkangnya terlihat elegan. Riakan air jernih begitu tenang membawa mereka pergi. Ia tahu ke mana prianya pergi. Tempat yang jauh untuk menimba ilmu. Asyifa hanya bisa menahan luapan kebahagiannya sejenak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikhlaskan apa yang terjadi.
Keesokan harinya Asyifa mengendarai sepedanya di pagi hari seraya menikmati nikmat sehat yang Allah berikan padanya. Udara segar yang memasuki sistem pernapasan tiada bandingnya dari udara manapun. Ia mengenakan pakaian training senyaman mungkin untuk memberikan ruangan bebas pergerakan tubuhnya. Ekor matanya menyelisik setiap halaman beberapa rumah telihat indah dengan taman-taman yang disedikan empunya sebagai ruang penyejuk pandangan. “Itu rumah Faiz Haikal,” gumam Asyifa dalam hatinya. Ia hanya punya harap-harap menjaga dalam dadanya. Tentang kebahagiannya yang lindap kembali.
Asyifa membuka matanya. Ia melihat jam dinding yang sedang berdetak dengan ritme tertentu. Serta cahaya benderang buatan yang masuk ke retina mata. “Ah, sudah jam dua ternyata,” ia menepuk jidatnya dan menyingkirkan bantal guling yang sedang dipeluknya. Ada sayup-sayup kesal di rongga dadanya. Tentang penyesalannya yang tidak bangun lebih awal tadi. Ia telah kehilangan seratus bintangnya. Menyebalkan sekali.
Ia melihat sekeliling katilnya yang tidak ada siapa-siapa selain bantal guling.
“Enggak solat Fa?” tanya Mama yang sedang mondar-mandir memecah keheningan malam.
Asyifa hanya ingin membungkam sejenak tentang keimanan dalam dirinya. Sebab perjanjian dalam dirinya mengerjakan suatu persoalan. Ia sangat bersyukur melihat mamanya seperti ini. Tapi untuk hatinya sendiri. Ah, ia perlu banyak waktu untuk menyetel ulang rasa tentram dalam dirinya. “Kalau Mama?” tanyanya balik.
“Ya udah duluanlah Fa,” ucapnya seraya bergantian merebahkan diri di atas katil Asyifa.
Ada rasa berat hati yang menggerogiti hati Asyifa. Ia tidak punya hasrat untuk bertemu Tuhan di sepertiga malam. Baginya ruang kosong yang yang kering kerontang ini masih ingin terus ia pupuk untuk sementara waktu. Ada baiknya memejamkan mata kembali. Meskipun kesadarannya masih setengah. Ia mencoba menyingkirkan perasaan lainnya ketika bangun tadi semoga saja ingatan apalah itu lenyap seketika. Bermimpi setiap kali tidur itu terasa menyebalkan. Seolah tidak ada waktu tidur yang berkualitas bagi dirinya.
Asyifa bangun lagi seraya menerka dirinya pasti bangun kesiangan. Mungkin saja pukul tujuh atau setengah delapan. Namun cahaya lampu tidak mungkin membohongi dirinya. Ia yakin sekali ini bukan jam biasa. Kedua bola matanya membulat seketika ketika melihat jarum panjang tersebut berhimpitan di angka enam. Itu tandanya ini masih setengah enam.
Setelah melihat samping kanannya, ia melihat Mama sedang memenuhi kewajiban solat subuh dengan khusyuk. Buru-buru ia bangkit dan melakukan hal yang sama. Kemudian melirik ventilasi udara ruang tamu yang mengisyaratkan suasana fajar. Asyifa segera berwudhu dan mengerjakan kewajibannya juga.
Asyifa duduk di meja belajar dan mengambil buku referensi tugas kuliahnya. Baru membuka halaman pertama, ia baru sadar bahwa solat tadi merupakan waktu yang langkah bagi dirinya. Kali pertama setelah beberapa hari yang lalu. Ia agak sedikit khusyuk mengerjakannya.
Tidak hanya satu keheranan itu yang mengendap dalam dada. Tetapi hatinya yang menyimpan bongkahan sesuatu. Ingatan tentang pria itu membuat setruman saraf motoriknya aktif. Ah, Asyifa merasa tidak percaya ia bisa memimpikannya. Ini juga kali pertama bagi dirinya setelah sekian lama ia mengikrarkan dalam diri bahwa pria itu merupakan tokoh idolanya. Pemikiran usilnya pun mengatakan ini merupakan suatu petunjuk bahwa Asyifa harus berubah. Bisa jadi sebagai isyarat bujuk membujuk menjadi pribadi yang baik sebagaimana biasanya.
“Kau kerjainlah soalmu. Kau tengok tuh yang lain udah pada tamat sedangkan kau sendiri masig gitu-gitu aja. Sudah berapa soal?” tagih Mama di belakang Asyifa.
Asyifa masih memandangi rententan huruf di hadapannya. “Delapan Ma.”
“Baru delapan. Bagus kali ya. Ngapain aja?” tanya ulang Mama lagi menegaskan ketidakbecusan Asifa.
“Yaudah Mama aja yang ngelanjuti soalnya.” Asyifa tahu benar apa yang ia perbuat. Ia telah melewati fase galau mengerjakan ini semua. Menyebalkan sekali. Entah berapa banyak waktu yang sudah ia habiskan untuk mengerjakan ini semua. Otaknya terasa dangkal ketika mendapatkan revisi yang ini.
Bila menangis pun tidak akan mengubah segalanya. Sedangkan hatinya sudah sangat kecewa setelah terombang-ambing tak tentu arah. Asyifa tidak tahu ke mana lagi ia harus membawa rasa sedih yang bercokol hanya tidak bisa mengerjakan soal. Namun mimpi tadi pagi seolah ingin mengatakan bahwa ia pasti bisa mengerjakannya. Entahlah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Bersambung