Transit Incheon In Love



Transit Incheon In Love

Oleh : Harumpuspita

“Stev!” Gadis berperawakan tinggi putih itu menyapa kepada orang yang baru saja ia antar. Keramaian dengan kesibukan masing-masing di Bandara Soekarno-Hatta tidak menjadi hal yang menyebalkan bagi orang yang dimaksud.

“Iya Ca?” Sebelah alis mata hazel itu terangkat. Mengembangkan senyumnya dan tanpa diminta langsung memeluk gadis itu setelah melepaskan pegangan koper di belakangnya.

“Pokoknya, aku kirim salam sama babang Kim Soen Ho ya di sana. Kamu kan berbakat jadi Paparazi. Hubungi aku langsung, aku fansnya berat dia.” Sedikit air matanya menggenang.

“Iya Ca. Insyaa Allah ya kalau bisa ketemu dia di sana. Lagi pula aku memenuhi undangan sebagai pemateri penulis kok di sana. Ya kalau bisa ketemu Alhamdulillah.” Stevia menepuk pelan dan mengusap punggung sahabatnya dengan hangat. Memberikan seutas senyum penuh harapan akan kebahagiaan yang hadir di masa depan nanti.

“Oh, iya satu lagi.” Ica melepaskan pelukan menatap mata hazel yang terharu itu sejenak. “Jangan sampai ada drama ketukar koper ya. Entah-entah malah seperti FTV yang sering dilihat di televisi.”

Stevia tertawa mendengar ucapan Ica. Ia menggelengkan kepala dan cengar-cengir seketika. Jangankan membayangkannya, ia saja masih bingung dengan pelafalan bahasa Korea Selatan yang akan ia temui orang-orang nantinya di sana. “Ada-ada aja kakak Ca nih. Yaudah, aku duluan ya kak. Jadwal penerbangannya sebentar lagi.”

Save flight ya dear …

Kedua orang tersebut saling melambai satu sama lain. Meninggalkan sebuah pesan dan harapan yang  ingin dipenuhi. Tentang perjalanan Stevia ke negeri para Kpopers yang diminati kebanyakan orang di negerinya. Bukan untuk bertemu dengan para artis yang ada di sana, melainkan memenuhi undangan sebagai seorang pembicara perwakilan Indonesia. Namun jika bertemu dengan para aktris atau aktor di sana. Anggap sajalah bonus.

***

“Hadeh …” Stevia mengembuskan napasnya perlahan. Menikmati masa menunggu pada penerbangan selanjutnya dari Changi Airpot ke Incheon. Sesekali matanya terpejam saat membaca daftar karya temannya di aplikasi online. Ia duduk di kursi menunggu seperti yang lain.

Ingatannya terhenti pada satu titik. Kerinduan akan seseorang yang sudah dua tahun selalu menemaninya ke mana pun ia pergi. Kalau dalam drama Korea, logika selalu nilai plus dalam mengeskpresikan setiap adegan. Namun yang tertinggal ada rasa pilu menahan kerinduan, rasa dalam diam, atau rasa yang tak perlu diungkapkan pada dunia. Ia terlalu takut dipaksa melupakan hingga membuatnya kehilangan jiwanya sendiri.

“Heish, Stev kumohon jangan berpikir ulang tentang dia. Jangan lagi kepo apa pun tentang dia. Itu sudah lama sekali dan masih tidak bisa melupakan sama sekali. Cinta itu memang benar-benar gila.” Ia memejamkan mata kemudian, menyuarakan suara hatinya yang tidak bisa berhenti menghasut otak untuk berpikir. Rindu itu menyiksa jika tidak ada obatnya.

[Udah sampai mana Stev?] Ica

[Udah sampai ke pelaminan bareng babang Kim Soen Ho. Wkwkwk

Udah sampai Changi nih. Lagi nunggu transit.] Stevia

[Usahakan jangan ceroboh ya Stev, ingat jangan ribetin diri sendiri :D] Ica

Kadangkala kerinduan itu memang harus dialihkan ke hal yang lain. Misalnya saja seperti menuliskannya dalam sebuah karya atau menuliskannya dalam sebuah buku agenda yang selalu Ia bawa ke mana-mana. Sayangnya, buku agenda itu sudah dipenuhi dengan cuapan kerinduan Stevia kepada satu nama. Satu nama yang orang lain suruh melepaskannya karena tidak ada yang bisa menjamin pertemuannya. Ia juga tidak pernah meminta ke mana hati akan pergi. Jika boleh dipilih, lebih baik pilihannya jatuh ke babang Kim Soen Ho saja. Namun setampan, sekaya apa pun tidak bisa meluruhkan satu nama yang mengendap dalam dadanya.

Haruskah ia jatuh cinta lagi kepada orang yang baru? Orang bilang itu mudah, sayangnya belum ada yang melengserkan satu nama tersebut.

Setelah dua jam lamanya Stevia tertidur di ruang tunggu. Ia mengalkulasikan jam yang masih tersisa. Masih ada lima jam lagi dan berjalan-jalan sekitaran bandara adalah hal yang sebaiknya jangan dilewatkan. Stevia beranjak dari kediamannya, memasukkan jaket ke dalam koper dan berjalan menyeretnya. Kedua bola matanya berkeliling melihat segala yang ada, sesekali ia memotret dan memvideokan rekam adegan yang ada.

Ia merasa takjub ketika berada di sebuah tempat yang begitu indah layaknya surga dunia. Taman Kupu-kupu. Warna hijau dari pantulan tanaman membuatnya rasa hatinya tenang. Ada banyak kupu-kupu di sana dan lebih menakjubkan lagi ketika ia melihat air pancuran setinggi enam meter. Belum lagi ia melihat praktik dari sebuah gambaran geometri dari langit ruangan. “Waw, masyaa Allah. Daebak!” Hatinya merasa girang dan merasa bersyukur bisa berada di tempat seindah yang bahkan ia sendiri tidak menyangka bahwa Allah telah mengizikannya berada di tempat ini.

Stevia berniat memposisikan kamera gawainya ke sebuah objek kupu-kupu. Belajar mempraktikkan angle yang menurutnya paling estetik dalam memotret. Ingatannya tidak banyak tentang pengetahuan fotografi. Hanya saja, ia sering memperhatikan dan kadang mengingat sebuah karya dari hasil potretan seseorang. Tanpa berpikir panjang, ia segera memundurkan langkah hingga akhirnya menubruk orang yang ada di belakang.

“Astaghfirullah …” Stevia terget dan berdesir hebat telah melakukan kesalahan. Gawainya jatuh dengan dentingan keras. Inikah perasaan tidak enak yang ia sangka merupakan rindu tadi? Batinnya sedang berperang melawan prasangka.

Barang bawaannya orang yang ia tubruk juga begitu. Berkas yang diperlukan dalam perjalanan jatuh, paspornya telungkup dan Stevia segera mengambilnya. Sebelah mata kirinya tanpa sengaja membaca sebuah nama yang tertulis di paspor. “Mas Arlan ….”

“Iya?” Lelaki itu menyahut ketika mengambil gawai Stevia. Terlonjak kaget saat pandangan bola matanya segaris lurus dengan orang yang berada di depan. “Astaghfirullah,” ucapnya seketika.

Stevia semakin getar saat menyadari apa yang terjadi, tak mampu berkata dan segera membalikkan tubuh. Berusaha menarik napas sedalam-dalamnya dan berpikir ulang bahwa itu bukan Arlan. Mungkin saja ada orang yang serupa. Arlan berperawakan tinggi putih, bersuara lembut, dan hey itu memang Arlan. Rasanya ia ingin merutuki dirinya yang gagal memahami bahasa rindu yang ada. Ia membalikkan tubuhnya kembali dan berusaha menyapa.

Lelaki itu juga menyapa, terlihat gugup dari pandangan Stevia yang terbatas. Tidak bisa melihat dengan jelas apalagi melihat kedua bola mata yang memperhatikan ketika perbedaan tinggi menjadi penghalang. Ia segera mengulurkan gawai Stevia yang berada di tangannya.

“Kok bisa ada di sini sih?” Stevia menyeret keseluruhan jiwa gengsinya. Ia selalu gagal mengatur gaya kalem kalau sudah berhadapan dengan orang lain. Benar-benar tidak konsisten. Bahkan di hadapan rindu pun juga begitu.

“Iya, Mas dapat amanah sebagai perwakilan dari perusahaan  di Korea Selatan. Jadi Mas sedang menunggu transit mau menghadiri acara di sana.”

“Tunggu, kripik tempe? Go Internasioanal?”

“Iyes, benar sekali,” jawab lelaki itu segera. “Kalau adek kok bisa ada di sini?”

Kedua bola mata Stevia berbinar seketika. “Wow, daebak, amazing! Benar-benar enggak menyangka ya benar-benar terwujud. Adek juga mau ke Korea Selatan jadi pembicara di sana sebagai penulis.”

“Wow, mantap dong. Mas juga enggak menyangka kalau kita bisa dipertemukan karena mimpi kita yang terwujud.”

“Eh, iyaya. Mimpi kita.” Senyuman Stevia mengembang dan tidak ingin pergi. Ia bingung harus mengatakan apa dan segera teringat dengan jadwal penerbangannya. “Oh, iya Mas. Kayaknya bentar lagi mau check in nih.”

Jika ada sebuah adegan dalam FTV, Stevia menjadi perusak suasana. Sudah asyik dalam syahdunya suasana malah diingatin untuk pergi. Hahah … Benar-benar tidak asyik. Gadis itu bisa saja apik dalam menuliskan naskah drama atau penguraian indah dalam setiap novelnya, tetapi tidak ketika terjadi pada dirinya.

“Iya, Mas juga mau check in. Sama dong kalau begitu pesawat kita.”

“Wuah kebetulan dong,” jawab Stevia tanpa menatap dan melihat antigores gawainya yang sudah retak. Pada satu sisi, ia bahagia bisa bertemu dengan seseorang yang rindukan dalam waktu yang lama. Sisi lainnya, ia sedih melihat kondisi gawainya sendiri. Gagal merasa paling happy menikmati hasil potretan yang ia miliki.

Transit ke Incheon adalah bahasa rindu yang menemukan pengobatnya. Stevia pernah bercerita tentang ketakjubannya pada budaya orang-orang yang berada di Negeri Ginseng dan Arlan yang juga antusias pada sepengetahuannya.

Sepanjang penerbangan Stevia tidak berhenti tersenyum. Ia seolah bermimpi dan mimpi ini adalah mimpi yang paling indah dari semua mimpinya. Berada di pesawat yang sama, sungguh sangat kebetulan sekali. Meski tidak berada di bangku yang berdekatan, setidaknya hati gadis itu tenang. Hey, bahkan babang Kim Soen Ho pun ia lupakan. Kalau begini terus, ia bisa gagal menjadi paparazi karena terlibat oleh perasaannya sendiri.

Stevia keluar lebih dulu dari pesawat dan disusul oleh Arlan yang miripnya serupa Kim Soen Ho menurutnya. Ia sudah merasa paling cukup akan pertemuan tadi dan tidak mengharapkan lebih. Nyatanya Kim Soen Ho. Eh, salah. Si Arlan menghampiri Stevia dan mengadakan perbincangan kembali setelah sekian purnama tidak bertemu. Mereka berdua saling menunggu orang-orang yang menjemput mereka.

“Dek kapan pulang ke Indo?” tanya Arlan ketika jemputan Stevia sudah datang.

“Adek hanya tiga hari empat malam sih di sini sih. Jumat sudah di Indolah.”

“Yaudah, hari jumat di rumah aja ya.”

“Kenapa?”

“Yaudah di rumah aja.” Arlan mengembangkan senyumannya.

“Yaudah,” balas Stevia tidak mengerti sembari cengar-cengiri dengan pertanyaan dan pernyataan barusan. Ia ingin mengekspektasikan bahwa Arlan akan datang ke rumahnya, tetapi malah merasa kalau pemikiran itu terlalu jauh untuk ia gapai.

Jika dulu kita pernah sedekat maghrib ke Isya bersebab ada yang ingin belajar banyak hal. Tak mengapa kita sejauh isya ke subuh. Sebab kutahu, sejauh apapun rentang waktunya pasti akan bertemu di satu titik waktu juga, ialah sepertiga malam. Walau terkadang hati sering bertanya tentang rasa yang sering berhadir, apakah sebagai ujian yang menghampiri ataukah mengajarkan tentang arti cinta yang sebenarnya layaknya cinta tulus mengantarkan cinta sejati kepada Tuhan.  ~Stevia.

SELESAI

 

 

 

Previous
Next Post »

20 comments

  1. Keknya si Arlan mau main ke rumah nih...
    hihiy...
    Ditunggu lho lanjutannya dengan tidak syabar...
    eh ada lanjutannya kan?
    ngarep dot com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak ada kak, hanya cerita pendek aja. Sayang idenya kalau dibuang :D.

      Delete
  2. Ceritanya bagus mba,
    Saya jadi serasa jadi tokohnya (ihirr)...
    Apakah cerita ini dipublikasikan tidak hanya di blog? Wa***ad atau KB*

    ReplyDelete
  3. Bilang saja Arlan mau datang melamar. Eeeeeh hehehehe jadi kepo.
    Suka sama "dulu kita sedekat Maghrib ke isya.."

    ReplyDelete
    Replies
    1. :D, nah itu nih yang diharapkan para pembaca ya. Wkwkw, semoga si Arlan emang beneran datang hahah.

      Delete
  4. Stevia ini si Harum ya? #Eh.

    Pengalaman pribadi nih kayaknya. Kenapa tak jadi nulis novel aja? Ini bagus lho kalau diterusin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh, hehehe. Hanya terinspirasi.
      Henny udah banyak slot novel yang harus dikelarin Heheheh. Dudu, ide malah banyak yang datang. Kalau versi novel ada juga sih, moga-moga bisa cepat kelarnya.

      Delete
  5. Stev bawa kakak juga ke Korea Selatan dek, please, kakak mau jumpa sama Park Seo Joon. Asyik banget cerpennya dek, ditunggu karya berikutnya ^^

    ReplyDelete
  6. Aduhhhh emg berbakat lah dsi Henny ini, lanjut dan tetap semangat ya, keren ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, banyak juga ya yang suka. Hihiii, siap kak. Insyaa Allah.

      Delete
  7. Baca ceritanya jadi ngebayangin babang Kim Soen Ho, beruntungnya Stevia mau didatangi babang Soen Ho eh Arlan ke rumah, kira2 ada cerita lanjutannya gak ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin ya rabbal alamiin. Semoga aja babang Arlan mau ke rumah Stevia :D. Hanya sampai di sini saja ceritanya kak. Kalau ada kelanjutannya jadi cerita bersambung dong. Hehee ...

      Delete
  8. Baiklah, sepertinya si Arlan ingin menghalalkan rindu.

    ReplyDelete
  9. So sweet kalimat penutupnya, btw ashar ke maghrib juga dekat ya, Isya ke subuh yang lama, namun bisa ditengahi dengan salat lail di sepertiga malam ya, masyaallah tabarakallah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya nih, jadi enggak perlu nunggu selama itu. Hihi

      Delete
  10. Waduhh..cerita nya menghanyutkan awak kedalam cerita jadi pingin lah ikut ke korea hahahha...teruskan ini ke novel donk keren banget ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Insyaa Allah, nanti dikabarin kalau udah jadi novelnya. Heheh ....

      Delete