Menulis Menjelang Deadline

 

diaryharumpuspita.com

Berbincang masalah deadline seolah tidak ada habisnya. Hal yang lebih membuat kesal adalah menuruti deadline-nya orang lain. Mau enggak mau harus siap dan dikumpul.

Kita sudah dibiasakan sejak masa sekolah sebenarnya. Mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan kuliah. Setiap mata pelajaran pun sudah ada timeline nya sendiri. Jika tidak mengumpul pasti akan dikenakan sanksi berupa tidak ada penilaian dan hukuman lainnya. Maka sudah seharusnya deadline ini memang harus diimbangi di setiap tatanan kehidupan. Mulai dari makan, tidur, dan bahkan beribadah tepat waktu.

Menyelesaikan tugas sesuai dengan deadline ini merupakan sebuah cara seseorang untuk menempati janjinya dan membangun kualitas diri seseorang. Kepercayaan juga dibangun dengan deadline. Jika orang yang diberikan amanah mampu menyelesaikannya. Otomatis mereka akan berpikir kinerja kita itu baik dan bisa dipercaya. Terlebih lagi, tidak ada beban jika semua sudah diselesaikan. Ujung-ujungnya juga akan membawa ketenangan jiwa juga.

Saya mengambil pemisalan yang lebih dekat dengan diri saya kali ini. Ada banyak deadline belakangan ini. Mirisnya rasa dilema berupa ketakutan itulah yang menghantui, membuat saya malah terjebak tidak menyelesaikannya. Kadang-kadang berpikirnya begini.

Apa sih yang ditakuti dengan deadline sebenarnya? 
Kenapa harus deadline juga baru menyelesaikannya? 
Kenapa harus mengikuti deadline orang lain? 
Kan  menyebalkan jadinya.

Ketika bangun tidur pula dalam kondisi setelah sadar saya malah mengucapkan petuah sendiri sangking kepikirannya masalah deadline. Setelah berpikir sekali lagi. Ketika rasa dilema itu hadir. Jiwa logika dan perasaan pun muncul.

Saya mencoba merefleksi ke masa lalu. Ketika itu malah takut melihat deretan tugas yang harus diselesaikan dalam waktu dekat. Terlebih lagi deadline-nya sudah dekat. Spontan rasa percaya diri itu pun surut. Pertanyaannya sederhana. “Mampukah saya?”

Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa takut dibandingkan kepercayaan diri sendiri. Ya, kita memang harus percaya dengan diri sendiri. Bahwa kita itu bisa melakukannya. Bukan menyerah sebelum menghadapinya. Singkirkan ketakutan dan munculkan keberanian dalam diri.

Kebiasaan menulis free writing kali ini tidak lagi hanya sekedar sepuluh menit. Tapi harus menyelesaikannya. Terlebih lagi harus diposting di blog. Hal yang pertama terpikirkan adalah menyulap artikel blog itu harus bagus. Setidaknya ketika pengunjung datang akan nyaman dengan postingan yang kita buat. Jiwa perpeksionis malah muncul di saat melihat blog sendiri.

Cara cepat untuk menulis menjelang deadline adalah dengan menuliskan segala hal apa yang ada di dalam pemikiran tanpa perlu mengedit. Biarkan saja tulisan itu berantakan tidak tentu arah begitu saja untuk sejenak, sampai tulisan itu selesai. Hal yang terpenting adalah membiarkan ide-ide brilian tertulis secara keseluruhan di tulisan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Setelah selesai, barulah dibaca ulang dan disunting kembali mana-mana saja yang masih tidak masuk akal.

Cara ini sebenarnya bukan hanya pada saat deadline saja, tetapi bisa diterapkan setiap mengetik tulisan apa pun itu. Jadi, tidak perlu takut lagi untuk menulis bukan?

Salah Eksekusi Rencana, Berakhir Ambyar

Salah Eksekusi Rencana, Berakhir Ambyar

Saya ingin membahas topik ini sejak lama sebenarnya. Hanya saja, baru sekarang menyempatkannya dan itu pun berasal dari rasa keresahan di pagi hari. Nyaris sakit perut kalau dipikirkan dan tidak ada solusi sama sekali.

Pemikiran yang datang itu akan seperti hujan badai membasahi seluruh kinerja hidup. Masih mending kalau hanya sekedar basah. Kalau ujung-ujungnya terluka karena butiran kristal air hujan. Itu pula yang malah menyakitkan.

Seringkali waktu dan keinginan yang tidak singkron. Sehingga menyebabkan kita itu sering bertanya. Apa sih yang saya cari selama ini? Atau malah apa sih yang sedang saya lewatkan sebenarnya? Semuanya mengalir begitu saja. Sehingga tanpa sadar bahwa ada rasa penyesalan tersendiri gitu. Tanpa pernah berpikir untuk menghindarinya di masa depan nanti.

Terperangkap dalam banyak pilihan. Susahnya itu hanya banyak keinginan.

Itulah yang membuat saya semakin resah. Sangking banyaknya keinginan malah membuat segalanya berakhir tidak jelas. Belum lagi hati yang gampang terbolak balik. Misalnya gini nih. Saya tuh mau menyelesaikan novel sepuluh bab dalam sehari. Sudah diniatin nih. Namun saat di tengah jalan saya malah merasa jenuh kebanyakan ngetik. Rasanya malah ingin muntah. Sekelas alergi gitulah jadinya. Tidak ada inspirasi sema sekali. Tapi sebenarnya saya tuh hanya bisa menyelesaikan paling banyak lima bab dalam sehari. Nah, keinginan yang sepuluh bab ini malah menjadi tidak sesuai. Ujung-ujungnya akan berakhir dengan dilema yang akan menghambat diri. Belum lagi, kesehatan itu juga harus dijaga. Saya itu manusia. Bukannya robot yang bisa diajak kerja terus –terusan.

Longfellow seorang penyair terkenal Amerika Serikat menyatakan bahwa, “Kita menilai diri sendiri dari apa yang bisa kita lakukan. Orang lain menilai kita dari apa yang sudah kita lakukan.”

Pada akhirnya kita memamg harus sadar bahwa apa yang kita lakukan itu seharusnya merujuk ke masa lalu. Pencapaian apa yang bisa didapat dalam waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bukan sebuah keinginan yang belum pernah dicapai.

Boleh-boleh saja sebenarnya keinginan kita  yang banyak dan tinggi. Sama seperti jumlah bab yang ingin saya kerjakan dalam satu hari. Hanya saja, anggaplah hal itu merupakan target maksimal. Sedangkan apa yang telah kita lakukan itu merupakan target minimal. Supaya lebih bersiap-siap diri sajalah gitu. Enggak perlu terlalu menyakit diri sendiri dengan pencapaian yang di luar kebiasaan.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan supaya tidak berakhir ambyar karena salah eksekusi.

1.      Tentukan Jangka Panjang dan Pendek

Anggap sajalah kita sudah memiliki keinginan masing-masing. Saya sering melewatkan bagian ini sebenarnya. Sering terjebak dalam jangka pendek tapi lupa dampak ke depannya seperti apa. Jika kalian pernah mengalaminya. Itu berarti kita satu lingkaran nasip. Sayangnya, tips ini memang sudah saya dengar sejak dulu. Tapi ingatan saya malah terlintas kepada Bang Sukma yang mengatakan pesan tersebut di masa lalu. Seolah memang sedang memberikan petunjuk sendiri bahwa saya tuh musti berubah.

Hari ini mungkin kita masih berpikir untuk bisa menyelamatkan diri di hari esok. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita bisa menyelamatkan diri di minggu berikutnya, bulan berikutnya, atau tahun berikutnya. Jangan sampai malah terjebak praktik robot jadinya. Kasusnya malah menjadi itu lagi, itu lagi. Hingga rasanya enggak selesai. Ekspektasinya enggak sesuai. Eh, malah nambah lagi. Mungkin cara ini bisa kita pikirkan masing-masing.

2.      Skala Prioritas

Ada empat bagian dari skala prioritas ini. Ada yang penting dan genting; Penting tapi tidak genting; Genting tapi tidak penting; terakhir tidak penting dan tidak genting. Ini harus selalu diingat sebenarnya.

Pada bagian penting dan genting itu berupa masalah. Apa sih masalah yang harus kita selesaikan dalam waktu dekat. Batas akhirkah? Kondisi krisis dan kritis kah? Atau malah konflik yang sedang kita alami. Itu sudah yang harus diselesaikan. Biasanya ditandai dengan keresahan. Keresahan yang membuat kita itu harus keluar dari zona rasa sakit.  

Pada bagian penting tapi tidak genting itu berupa perencenaan yang sudah kita buat dari jauh-jauh hari. Menjalin hubungan baik dengan yang lainnya. Rekreasi dengan keluarga, teman, atau orang yang kita sayangi. Pencegahan dari yang namanya deadline.

Pada bagian yang ketiga inilah membuat saya sering terjebak. Apa itu? Pertemuan dadakan, laporan dadakan, pekerjaan menumpuk, dan aktivitas populer. Genting tapi itu enggak penting. Kesempatan, juga begitu sebenarnya. Saya sering sekali merasa ambyar ketika ada informasi dadakan berupa lomba. Iming-imingnya pun juga lumayan. Padahal sebenarnya saya juga punya rencana tersendiri. Hasilnya ketika kuadran ini yang diikuti. Saya akan berakhir kecewa jadinya.

Kuadran terakhir. Tidak penting dan tidak genting berupa zona nyaman. Rebahan di atas kasur. Bersenang-senang seperti bermain online. Kesibukan yang tidak penting dan menunda-nunda. Kadang-kadang kebiasaan ini menjadi hal yang sulit diubah kalau sudah terperangkap. Seperti jebakan batman gitu. Perlu diwaspadai kalau sudah terjebak.

Pertanyaannya adalah kuadran mana yang selama ini kita lakukan? Atau malah jangan-jangan malah kuadran keempat pula ini yang sering dilakukan. Coba deh dulu tanyakan dulu dari hati yang paling dalam. Merenungi langkah ke depannya seperti apa? Jangan sampai kita berakhir ambyar lagi. Ujung-ujungnya menjadi menyesal. Sayang banget masa lalu yang sudah dilalui.

Saya berharap saya sendiri juga bisa mempraktikkan ini dengan baik juga. Tidak hanya sekedar pemikiran yang singkat saja. Mari sama-sama kita merenungkan kembali hal ini.

 

 


Keadilan dari Beberapa Sudut Pandang

 


Berbicara tentang keadilan. Agaknya kita harus tahu sebuah takaran yang sesuai dengan porsinya. Secara sederhananya, kita bisa melihat sebuah contoh dalam sebuah keluarga di mana memiliki beberapa bersaudara. Ada seorang kakak yang sudah SMA dan ada seorang adik yang masih kelas satu sekolah dasar. Sang kakak diberikan uang sepuluh ribu sebagai bekalnya pada hari itu di sekolah. Sedangkan sang adik diberikan uang dua ribu. Jika berbicara tentang nominal. Tentulah kita bisa menilai bahwa jumlahnya tumpang tindih. Namun jika kita melihat tempatnya diberikan. Ini memang sudah adil.

Ada banyak faktor yang membuat sang kakak memang layak diberikan uang sepuluh ribu setiap harinya. Mulai dari jarak dari rumah ke sekolah. Hingga kebutuhan yang diperlukan di sekolah. Semakin besar seseorang, tentu banyak pula pengeluaran. Selain itu, kebijakan dan tanggung jawab dalam memegangnya sudah bisa dipercaya. Sehingga orang tua tidak perlu khawatir jika ada pengualaran tidak terduga dari diri sang anak. Tinggal pandai mengolah keuangan secara mandiri saja.

Lantas bagaimana jika adiknya yang diberikan takaran yang sama dengan sang kakak? Nominal sepuluh ribu cukup besar untuk porsi anak kelas satu SD. Pemikiran mereka masih terbayang dengan kata jajan dalam benaknya. Mereka masih belum memahami hal yang memang sangat diperlukan dan tidak. Jika dibiarkan terus-terusan diberikan uang yang besar. Bisa jadi mereka akan membentuk diri dengan pribadi yang boros. Namun lain halnya jika orang tua mampu mengajarkan anaknya untuk menabung.

Keadilan bukan hanya berorientasi di dalam sebuah keluarga saja. Melainkan banyak tempat, sisi, dan waktu.  Mulai dari hal yang kecil hingga besar. Konsep adil yang paling dekat adalah pada diri sendiri sendiri. Meskipun terdengar sepele. Namun hal ini bisa menjadi tolak ukur dalam keberhasilan seseorang. Bagaimana kita bisa membagi waktu yang adil untuk bekerja, istirahat, dan tidur. Semuanya harus seimbang untuk membentuk kepribadian yang ideal. Maka istilah ‘sepele’ ini bisa menjadi sudut pandang yang berbeda dan sangat penting jika kita menghendaki.

Mari kita mengambil contoh adil dalam membagi waktu. Mungkin ini merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di kalangan anak muda. Waktu malam, apakah kita sudah menggunakan dengan sebaik-baiknya? Biasanya anak muda sering kali mengalami hal ini. Tidur larut malam dan bangun kesiangan. Padahal pada waktu malam di sepertiga malam adalah waktu yang paling mustajab dalam berdoa. Sungguh amat disayangkan jika terlewat begitu saja. Segalanya sudah ada takarannya. Hanya saja, terkadang manusia itu sendiri yang memilih melebihkan dan mengurangi takaran sesuai kehendak yang diinginkan. Padahal belum tentu apa yang menurut kita baik itu baik dan apa yang menurut kita buruk itu buruk. Hal ini dituangkan dalam surah Albaqarah ayat 216. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” Sayangnya, keinginan tidak bisa memberikan gambaran apakah sesuatu yang di depan mata itu baik atau sebaliknya. Hal ini hanya bisa diketahui setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan mengambil sebuah hikmah dari pelajaran kehidupan.

Lantas, bagaimana dengan keadilan di negeri ini? Terkadang kita bertanya, apakah hidup ini sudah benar-benar adil? Apalagi pemberitaan sana-sini yang diberitakan di televisi membuat hati gusar tentang orang-orang yang mencari keadilan. Bahkan tidak segan-segan melalui jalan dengan bertindak kejahatan hanya demi keadilan.

Keadilan di Negara Indonesia tertuang pada sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun fenomena yang sering kita temui adalah ketidakadilan di Negara ini masih belum merata. Khususnya masyarakat kelas bawah. Sedangkan pada orang-orang yang berada di tingkat atas seolah dengan begitu mudahnya menetapkan keadilan sesuai dengan versi mereka. Bahkan tidak asing lagi orang-orang mulai berspekulasi bahwa keadilan di negeri ini memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku.

Bahkan ada pula yang percaya bahwa faktor penegak hukum dikendalikan oleh kekuatan keuangan di dalam proses penegak keadilan. Sehingga orang yang berkuasa akan mendapatkan keringanan hukuman sedangkan orang yang tidak berpunya akan dihukum sesuai dengan ketentuan. Bahkan lebih berat hukumannya. Hanya saja praktik suap menyuap seperti ini tidak diberitakan secara terang-terangan di media massa, Jika pun berani memberitakannya, bisa jadi pencitraan media tersebut akan terancam. Jelas, hal ini bukanlah keadilan yang sesungguhnya.

Belum lagi orang-orang kaya semakin berkuasa. Sedangkan orang miskin semakin terpuruk. Tumpang tindih di antara orang-orang yang tidak tergerak hatinya untuk saling memberi dan mengasihi satu sama lain akan membentuk ketidak seimbangan dalam tatanan kehidupan. Namun begitulah fakta yang terjadi selama ini. Bukan hanya di negara ini saja. Tetapi negara lain yang memiliki persoalan sama dalam polemik kehidupan.

Konsep keadilan juga dapat dinilai dari tatanan kehidupan di Negara ini. Faktanya, kita masih menemukan betapa banyak kasus kemiskinan, gizi buruk, dan kekerasan. Belum lagi fenomena penyimpangan sosial lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa mereka merasakan ketidakadilan di dalam kehidupan. Sehingga mendorong diri untuk menyimpan penyakit hati yang tidak seharusnya. Semakin banyak permasalah seperti itu kita temui. Maka keadilan di Negara tersebut masuk dalam kategori krisis.

Allah swt telah menyuruh hambanya untuk berbuat adil dan melakukan kebaikan di dalam kehidupan. Hal ini tertuang dalam surah An-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses keadilan itu tidak didasari oleh perbuatan keji berupa menzalimi orang lain, kemungkaran dengan memberikan kesaksian palsu dan permusuhan di antara sesama manusia. Maka apabila ditetapkan akan mejadi sebuah pengajaran yang dapat diambil pelajarannya berupa hikmah kehidupan.

Berlaku adil merupakan sebuah bentuk kebajikan yang harus diterapkan dalam kehidupan. Sesuatu yang setimpal, seimbang secara nalar, dan tepat pada tempatnya. Tidak memandang apakah orang itu kaya, miskin, pejabat ataupun orang biasa. Jika seseorang itu bersalah harus mendapatkan hukuman. Hal ini juga ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 135. “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri ataupun terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwah) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashalatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini sudah sangat jelas menyuruh kita untuk menegakkan keadilan dan tidak mengikuti hawa nafsu untuk menyimpang dari kebenaran. Bahkan terhadap diri sendiri dan kaum kerabat. Padahal, seperti yang kita tahu bahwa kedekatan itu mendorong hati untuk selalu menyelamatkan meskipun seseorang itu bersalah.

Keadilan dan kebenaran ini merupakan paket komplit yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan tidak bisa diadobsi jika hanya satu sisi saja. Kebenaran tanpa keadilan tidak akan memberikan sebuah solusi dan menjadikan kejahatan akan terus meningkat. Sedangkan keadilan tanpa kebenaran hanya sebuah omong kosong belaka dan merupakan sebuah kebohongan yang bahkan berdampak buruk bagi kehidupan selanjutnya. Bisa jadi akan menimbulkan dendam kesumat dan kejahatan lainnya. Maka keadilan itu harus didasarkan kebenaran terlebih dahulu untuk memutuskan suatu perkara.

Jika hari ini kita masih saja mempertanyakan sebuah keadilan yang hadir dalam kehidupan ini. Maka ingatlah di akhirat nanti kita juga akan memasuki fase semuanya akan diadili baik yang tampak maupun tidak. Baik itu sesuatu yang besar maupun kecil. Tidak ada yang bisa lolos dari fase menuju alam keabadian ini. Semuanya pasti akan melaluinya.

Seseorang yang ingat akan pertanggung jawaban di akhirat pasti memiliki sikap hati-hati dalam bertindak. Konsep berpikir sebelum bertindak akan dipegang teguh dalam pedoman hidup. Ia akan memikirkan ketika seluruh anggota tubuh mengatakan kebenaran apa yang telah dilakukan selama di dunia. Mata, hati, tangan, dan kaki akan menjadi saksi. Sedangkan mulut hanya bisa terbungkam. Tidak ada yang bisa membantah. Bahkan sebesar zarah pun akan diperhitungkan.

Jangan sampai diri bersikap zalim hanya karena lupa dengan keadilan. Sebuah kebalikan dari sikap adil yang selama ini harus ditegakkan. Jika hari ini kita masih menemukan orang-orang yang bersikap zalim pada orang lain. Mari menengadahkan tangan dan berdoa semoga Allah swt membukakan pintu hati mereka yang tengah tertutup. Aamiin ya rabbal alamiin.

Ikhitiar dan doa juga sama-sama ditegakkan dalam keadilan. Agar jalannya bisa berkesinambungan dan menjadi keberkahan, Sebisa mungkin jangan hanya diam saja jika melihat orang yang tidak bisa berlaku adil. Hal yang bisa dilakukan untuk menyadarkan mereka adalah dengan menegur ataupun memberi tahu di saat waktu yang tepat. Terlebih lagi jika hati memungkinkan sudah siap untuk diberikan pencerahan.

Begitulah serangkaian pembahasan tentang keadilan yang bisa diulas kali ini. Semoga kita semua bisa berlaku adil pada diri sendiri, kerabat, saudara seiman, dan orang lain. Sehingga kehidupan yang damai dan sejahtera di kemudian hari akan datang dengan sendirinya.

Pengaruh Hormon Adrenalin Bagi Para Deadliner

 


Deadline atau yang dikenal dengan istilah batas akhir ini merupakan hal biasa di kalangan mahasiswa. Sistem kebut selamam, tugas yang semakin menumpuk, dan tanggung jawab dari sebuah amanah. Bukan hanya itu saja, deadline ini juga populer di kalangan para pekerja ataupun peserta lomba. Jika diberikan waktu yang banyak misalnya sebulan. Maka mengerjakannya sebelum pengumpulan tugas. Tiga hari, satu hari, bahkan satu malam sebelum dikumpul.

Tidak heran, jika hal ini akan memberikan dampak pekerjaan yang seadanya bagi para deadliner. Deadliner adalah istilah orang yang sering mengerjakan sesuatu di batas akhir. Sekilas, tidak ada bedanya ketika diberikan tugas langsung dikerjakan dalam waktu dekat. Siap tidak siap harus dikumpul. Meskipun hasilnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Acak adul dan membiarkan apa yang terjadi.

Seringkali kegiatan batas akhir ini akan menciptakan drama sendiri bagi pelakunya. Unik dan memberikan cerita tersendiri. Bahkan ada yang menjadi kenangan dan tidak bisa dilupakan. Mulai dari banyak yang bersalahan, lupa dengan sesuatu, dan parahnya lagi menghalalkan segala hal hanya demi mengejar target. Sungguh sangat disayangkan, sesuatu yang baik bisa berubah menjadi ketidakbaikkan ketika memilih jalan instan.

Kebanyakan para pelaku deadline akan merasakan stress jika sedang berada di batas akhir. Ada yang mudah cepat marah, stress, bahkan tiba-tiba merasa beberapa anggota tubuh terasa sakit. Namun itu semua akan memberikan sebuah inspirasi dadakan dalam sekali kedip. Tidak heran jika tugas yang diberikan bisa saja selesai dalam satu malam. Bahkan menjadi orang yang ligat dadakan.

Terlebih lagi inspirasi tidak mudah didapatkan ketika di waktu yang senggang. Walaupun sudah melalui proses perenungan, melihat apa yang sudah dikerjakan, bahkan relaksasi sekalipun masih belum bisa mendapatkan inspirasi. Sebenarnya, mungkin saja ada. Hanya saja terlalu banyak inspirasi malah membuat bingung tidak menentu. Hingga akhirnya, proses dalam mengerjakan tugas berada di batas akhir juga. Hal ini serupa dengan galau berkepanjangan sebelum menjelang deadline. Dilemanya lebih lama daripada mengerjakannya.

Seseorang yang sering mengerjakan sesuatu di batas akhir akan mengalami hal buruk apabila selalu mengerjakannya hingga tengah malam. Bahkan sampai pagi rela tidak tidur hanya karena mengerjakan tugas tersebut hingga selesai. Padahal, pada waktu malam hari bagian terpenting di dalam tubuh sedang melakukan tugasnya berupa membuang zat beracun di dalam tubuh. Secara bergantian mulai dari sistem peredaran darah hingga sistem pencernaan. Sehingga tidak heran bahwa ketika pagi hari setelah bangun bagi kita akan menemukan air seni yang berwarna lebih pekat meskipun tidak minum apa-apa selama tidur.

Apa jadinya jika tugas mereka (para anggota paling penting dalam tubuh) selalu diganggu ketika sang pemilik tubuh sering mengerjakan sesuatu di batas akhir hingga lewat tengah malam? Konsekuensinya  adalah tubuh rentan terhadap penyakit bersebab tidak sempurna mengeluarkan zat beracun dari tubuh. Hal ini sesuai dengan pesan paling populer dari bang Haji Roma Irama. “Begadang, jangan begadang. Kalau tiada artinya. Begadang boleh saja, kalau ada perlunya.” Tapi yang namanya batas akhir juga merupakan sesuatu paling penting. Mau tidak mau, suka tidak suka, semua yang terlibat harus melewatinya.

Aktivitas mengerjakan tugas selalu di batas akhir ini merupakan sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang akan menjadi sebuah tabiat dan sulit diubah jika terlebih lagi tidak memiliki kemauan yang kuat untuk berubah. Hal ini tentunya bukan hanya berdampak pada diri sendiri tetapi juga orang lain yang berada di sekitarnya. Misalnya imbas dari kemarahan ketika menjelang batas akhir. Selain itu, deadline ini bisa menyebabkan si deadliner menjadi pelupa. Ia lupa makan, minum, bahkan tidak ingat kalau dirinya sedang sakit. Sehingga mengakibatkan si deadliner akan mengalami dehidrasi hingga sakit magg.

Bekerja di bawah tekanan akan membangkitkan hormon adrenalin, sang pembawa pesan kimiawi antar sel atau antar kelompok sel tubuh. Ia akan berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak terpengaruh pada lingkungan luar. Hormon adrenalin ini yang memicu seseorang untuk bersemangat dalam mengerjakannya. Jantung berdetak lebih cepat sehingga menimbulkan kewaspadaan yang meningkat. Tubuh akan melepaskan hormon ini ketika seseorang merasa tertekan, stress, senang, takut, atau berada dalam kondisi yang berbahaya dan menegangkan. Seperti yang diketahui bahwa detik-detik menjelang batas akhir itulah merupakan bagian drama yang paling menegangkan. Jantung berdetak dua kali lipat, napas menjadi cepat, dan rasa nyeri yang ada di tubuh tidak terasa. Produksi keringat meningkat ketika berada di bawah tekanan juga merupakan tanda bahwa tubuh sedang melepaskan hormon adrenalin.

Hal ini merupakan suatu hal yang biasa. Hanya saja, jika kadarnya terlalu berlebihan akan memberikan dampak buruk bagi kesehatan seperti gangguan tidur, sakit kepala, tekanan darah tinggi, keringat berlebihan, jantung berdebar, pandangan menjadi kabur, gelisah dan mudah marah. Pengaruh  ini tentunya juga tidak asing lagi dirasakan bagi para deadliner yang berada di ujung tanduk. Sedangkan para deadliner tidak bisa berbuat apa-apa dalam situasi hal ini selain terus bertarung pada waktu dan batas akhir demi menghilangkan tekanan dalam diri. Pemikiran yang bersarang di kepala hanya sebuah ketakutan akan mendapatkan hukuman atau konsekuensi negatif bahkan terlebih lagi hilangnya sebuah kepercayaan yang sudah dipupuk selama ini.

Kekurangan hormon adrenalin juga menimbulkan dampak yang buruk jika kadarnya terlalu rendah, Orang tersebut tidak akan merasakan takut dalam tekanan dan tidak peduli apa yang terjadi meskipun berada dalam kondisi yang berbahaya. Kondisi ini sama halnya dengan para deadliner ketika tidak bisa melewati batas akhir dengan baik. Hingga akhirnya ia memilih mundur dan pasrah pada waktu. Tidak lagi terpengaruh pada waktu dan berusaha menenangkan dirinya. Kekurangan hormon adrenalin ini juga akan mengakibatkan depresi, merasa lelah, gangguan tidur, migran, gula darah rendah, dan sindrom kaki gelisah.

Salah satu cara meghindari deadline ini adalah dengan membuat deadline sendiri. Para deadliner sudah pasti memiliki manajemen yang buruk. Mereka tidak bisa menerapkan perencanaan yang baik. Bahkan sulit menentukan sesuatu yang harus dikerjakan lebih dulu. Apalagi jika para dealiner suka memutuskan suatu hal hanya berdasarkan perasaan atau sesuatu sesuai dengan keinginannya. Padahal belum tentu apa yang baik menurutnya itu baik. Begitu pula sebaliknya. Misalnya deadline-nya dua hari lagi. Berhubung ia tidak memiliki keinginan untuk mengerjakannya. Maka ditundalah dulu. Lagi pula si pelaku deadliner sedang tidak merasa tertekan. Jadi, hidupnya masih terasa santai saja pada waktu luang.

Para deadliner sudah terbiasa bekerja dalam kondisi tertekan. Sehingga ia tidak memiliki motivasi khusus untuk menuntaskannya segera. Solusi membuat deadline sendiri rasanya menjadi sulit bila memeranginya sendiri. Terlebih lagi, setiap kali mengerjakannya di siang hari malah merasa kelelahan dan rasanya ingin mengantuk dan tidur. Akhirnya tidak terselesaikan juga dan berakhir pada aktivitas rebahan.

Kopi adalah cara lain yang bisa menjadi solusi ketika si deadliner sudah berusaha mengerjakan tugasnya. Tetapi masih tertidur juga di siang hari. Kopi mengandung kafein yang bisa memicu meningkatkan hormon adrenalin. Kafein ini bisa masuk ke aliran darah dalam 15 sampai 20 menit. Namun efek yang dirasakan dapat bertahan hingga sepuluh jam. Maka tidak heran bila para penikmat kopi yang mengonsumsinya di malam hari akan mengalami kesulitan dalam tidur. Kafein juga bisa terdapat pada teh dan cokelat. Hanya saja, kadar kafein dalam kopi lebih banyak daripada teh dan cokelat.

Seperti yang dipaparkan di atas. Hormon adrenalin bekerja ketika berada posisi di batas akhir. Si deadliner akan merasa sadar dan tidak merasa mengantuk lagi. Setelah itu, hal yang bisa dilakukan adalah membebaskan pemikiran. Sesuatu yang menjebak hati dan pemikiran untuk menghambat mengerjakan tugas. Cobalah untuk melupakan segala yang menghambat. Berupa keinginan ini itu yang mengalihkan perhatian dari mengerjakan tugas. Singkirkan segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan tugas. Baik itu dalam diri maupun dari luar. Jika diperlukan bisa mencari tempat teraman dan tidak diganggu orang lain ketika mengerjakannya.

Cara selanjutnya yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan tenggat waktu sama seperti ketika mengalami deadline sebenarnya. Ketika berada di jam-jam tertentu juga harus selesai dengan target yang sudah disepakati dalam diri. Jika tidak selesai juga akan mendapatkan konsekuensi. Misalnya masih banyak tugas yang masih menunggu.

Jika menerapkan deadline lebih cepat daripada deadline sebenarnya. Tentu si deadliner akan mendapatkan dampak positifnya. Hal yang paling mendasar adalah bahagia lebih lama sebab hati merasa lebih tenang. Bisa membaca ulang dan mengerjakannya secara maksimal sebelum dikumpul. Selain itu, tubuh akan tetap dalam kondisi sehat.

Semua orang pasti akan melewati masanya deadline. Tergantung deadliner-nya sendirilah yang mengatur apakah ia akan diatur oleh deadline-nya sendiri ataupun deadline orang lain. Terlebih lagi ketika si deadline bisa mengolah hormon adrenalin dalam proses melewati deadline. Bagi kalian yang mungkin hari ini masih merupakan para deadliner yang benar-benar deadlinenya orang lain. Semoga kita bisa sama-sama menafakurkan solusi menghindari deadline di ujung tanduk.


Titik Persimpangan Jalan



Judul buku        : Di Simpang Jalan Dody dan Rhe
Penulis              : Titi Sanaria
ISBN                 : 978-602-04-7257-7
EISBN              : 978-602-04-7258-4
Penerbit            : PT Elex Media Komputindo
Tahun terbit      : 2018
Tebal/ukuran    : 346 hlm

Kisah ini memberikan tema yang sama dari Novel Sebelumnya, Mignight Prince. Ketika tokoh utama lebih memilih melarikan diri untuk menyelesaikan masalah dan tidak bertanya tentang kebenaran yang sesungguhnya. Lagi-lagi tokoh utama lebih memilih memendam seorang diri.

Pada setiap permulaan Bab juga dibumbukan sebuah kutipan seperti novel sebelumnya. Pemilihan latar belakang berupa dua cincin menggabarkan keterikatan yang sangat kuat. Tentang kisah cinta yang tidak bisa dijelaskan secara gamblang. Hanya saja kisah cinta di sini lebih berdasarkan kepada logika.

Begitu juga dengan tokoh lelakinya yang harus mempertahankan hubungan dan memperjelas keadaan. Hanya saja perbedaan yang signifikan dari novel sebelumnya adalah kehalalan dalam hubungan dan tidak ada dosa untuk mempertahankannya.

Kehadiran Becca sebagai sahabat karibnya membuat permasalahan tidak begitu berat untuk dinikmati sendirian. Ben yang merupakan seorang pengacara juga turut andil di dalam pertemanan Rhe dan Becca. Ia akan menjadi sosok paling cerewet untuk Rhe. Pada pertemuan mereka membuat kisah ini tidak terlalu menyedihkan. 

Pada permulaan cerita. Penulisnya memberikan sebuah permasalahan yang membuat pembaca bertanya-tanya tentang kerenggangan sebuah hubungan. Seolah tidak ada jalan lain selain berpisah.
Seandainya aku bisa mengepak hati dan memasukkannya ke dalam koper saat berkemas, pergi tidak akan sesulit ini. (Prolog)
Andai saja ada alat untuk menebak jalan takdir, akan ada banyak air mata yang bisa terselamatkan. (Bagian lima)

Dody dan Rhe dipertemukan oleh kehendak orang tua. Awalnya Rhe menolak. Ia pikir akan menjadi pertemuan pertama dan terakhir dengan Dody. Namun Dody menyuruh Rhe untuk mengatakan langsung kepada orangtuanya jika Rhe yang menolak.

Rhe datang ke rumah Dody dan ternyata bertemu dengan Ray. Mantan pacarnya yang lebih memilih Celine. Ternyata Dody merupakan saudaranya Celine. Rhe naik pitam karena merasa dianggap rendah oleh Ray hingga akhirnya ia mengucapkan kata keramat bahwa ia menerima Dody sebagai bagian dari hidupnya. Pada saat itu Mama Dody mendengarkannya dan langsung mengumumkan kepada semua orang.
Aku seperti meletakkan hatiku sebagai taruhan di meja judi saat menerima dia sebagai pendamping. Dan aku kalah. Telak, karena aku tak punya lagi koin tersisa untuk memenangkannya kembali. (Bagian Sebelas)

Rhe menyuruh Dody untuk mengatakan kebenarannya. Namun Dody tidak bisa. Ibunya memiliki riwayat penyakit jantung dan jika Rhe ingin bersikeras. Maka Rhe yang harus mengatakannya,
Rhe dan Dody menikah bukan dengan dasar cinta. Tetapi kejujuran dan komitmen. Hingga beberapa bulan setelah mereka menikah. Rhe mengetahui sesuatu yang berbeda ketika kehadiran teman Dody yang baru saja bercerai dan pulang dari Amerika, Nana. Dody berubah dan Rhe sebenarnya cemburu. Hingga ia memutuskan untuk keluar dari rumah dan kembali ke apartemen. Rhe selalu meminta perpisahan. Namun Dody tidak mengatakan apa-apa.

Novel ini memberikan makna bahwa cinta itu tidaklah harus diucapkan. Tetapi memang harus diungkapkan melalui perbuatan. Sikapnya Dody merupakan sebuah cinta. Namun Rhe sendiri yang tidak mengerti. Ia hanya berasumsi bahwa hatinya Dody milik orang lain. Mungkin julukan lelaki sempurna cocok untuk Dody. Rhe tidak bisa memasak. Dody yang merupakan orang pendiam ini selalu menyiapkan sarapan dan rajin memasak ketika berada di rumah.

Novel ini lebih cocok dibaca oleh orang dewasa. Apalagi yang sudah menikah. Ada makna tersirat tentang mempertahankan sebuah hubungan. Apalagi penyelesaian masalah dengan cara yang unik. 

Bertemu Pangeran Tengah Malam

Bertemu Pangeran Tengah Malam
Assalamualaikum ...
Hai-hai, kali saya mau ngeresensi lagi nih. Markinjut. 



Judul buku        : Midnight Prince
Penulis               : Titi Sanaria
ISBN                   : 978-602-04-5783-3
EISBN                : 978-602-04-5784-0
Penerbit             : PT Elex Media Komputindo
Tahun terbit      : 2018
Tebal/ukuran    : 280 hlm

Tulisan Titi Sanaria memiliki kekhasan sendiri dalam memaparkan tulisannya. Bahasa yang ringan dan sesuai dengan konteks orang dewasa. Karya-karya Titi Sanaria seakan tidak pernah bosan untuk menelusuri hingga tuntas. Apalagi percakapan di antara para tokoh yang tidak basi untuk dibahas. Meskipun memaparkannya dengan sudut padang orang pertama. Penulisnya begitu konsisten untuk membicarakan karakter ‘aku’ berasa hidup di lingkungan.

Setiap permulaan Bab akan ada sebuah kalimat mutiara yang bisa dijadikan sebagai kutipan. Cocok dibagikan sebagai status media sosial. Desain sampul abu-abu setiap kata mutiara sungguh tampak mengagumkan dengan rasi bintang seperti judul sampul. Tentang pangeran tengah malam yang menemani tokoh utama. 

Banyak sosok dan wajah yang dijumpai dalam perjalanan hidup. Sebagian besar hanya lewat untuk menggores warna. Beberapa lainnya mengenalkan luka dan kecewa. Ada sedikit yang tinggal saat kehidupan sedang tak ramah kepadamu. Orang-orang itu kita sebut sahabat. (halaman 5)
Bahagia itu terkadang seperti alun gelombang. Dia bisa saja menggulung diri dan kembali menjauh sebelum benar-benar mengecup pasir pantai yang dikejarnya sekian lama. (halaman 57)

Ini tentang Mika yang bekerja di rumah sakit bagian IGD dengan shift malam. Ia sengaja mengambil pekerjaan itu untuk mengetahui suatu hal yang membuat adiknya, Dhesa depresi. Seseorang yang telah membuat adiknya menderita seorang diri karena mengandung sebelum menikah. Ia kehilangan Dhesa dan keponakannya ketika sedang keramas. Dhesa menghanyutkan diri bersama anaknya di laut.

Keluarga Mika sangat berantakan. Ayah dipenjara karena kasus penipuan, sedangkan ibunya mengalami depresi. Hal ini membuat Mika harus berjuang sendirian menjadi tulang punggung keluargan. Mika punya om Haryono dan juga sahabatnya, Kinan yang tidak meninggalkannya.

Takdir seolah mempermainkan Mika ketika ia mengetahui Kinan akan menikah dengan Dewa yang merupakan anak dari pemilik rumah sakit tersebut. Kinan tidak tahu apa-apa tentang orang yang telah menghancurkan kehidupan adik Mika. Mika berusaha menghindar setiap kali Kinan memperkenalkannya pada calon suaminya.

Mika sangat suka berada di atap ketika masa senggangnya. Ia bertemu dengan Rajata suatu malam. Mika mengira Rajata merupakan salah satu kerabat pasien yang sedang dirawat. Setiap tengah malam mereka bertemu dan menghabiskan malam bersama untuk menikmati secangkir kopi. Saling membicarakan diri masing-masing tentang apa yang mereka sukai.

Mika terkejut ketika mengetahui Rajata merupakan seorang dokter yang berjaga di shift pagi ketika ia baru saja membeli makanan bersama suster Sri. Ia mulai menghindari Rajata ketika mengetahui lelaki itu  juga merupakan anak pemilik rumah sakit.

Rajata berusaha mendekati Mika. Namun Mika terus saja melarikan diri ketika hatinya sudah tertinggal pada Rajata. Ia tidak mengerti kenapa harus Rajata. Akankah mereka bersatu? Rajata tidak bersalah. Ia hanya mencintai Mika setulus hati. Begitu pula Mika yang sudah terlanjur mencintai Rajata.

Membaca novel ini membuat saya selaku pembaca sangat bersedih dengan posisi Rajata dan Mika. Mika yang memang sudah sangat terpuruk dengan kondisi keluarganya dan masa lalu kelam adiknya. Tidak bisa mengatakan kebenaran yang sesungguhnya. Ia menelan pil kebencian yang mengendap dalam hati. Namun ia tidak berniat untuk membalas dendam sebenarnya.

Buku ini cocok dibaca mulai dari usia 18+. Orang yang baru menapaki kehidupan di dalam pekerjaan. Apalagi mengadopsi sisi ketegaran sebagai sosok Mika. Pesan tersirat akan tersampaikan secara sendirinya dengan memahami makna segala reka kejadian pada tokoh utama.

Belajar Menulis Kreatif

Belajar Menulis Kreatif
Edisi Resensi
Yak setelah sekian lama menghilang dari peradapan blog paling asyik ini. Saya mencoba kembali lagi dengan sepenuh hati. Ea .... 
Sebab tidak selamanya saya bisa tahan hidup tanpa tersisipkan kegiatan menulis sebagai bentuk pengembangan diri. Suka banget baca buku. Tapi keseringan gagal resensi mulu karena habis masa peminjaman. #plak
Markinjut (Mari kita lanjut)


Judul buku      : Menjadi Penulis Kreatif
Penulis           : Ipnu Rinto Nugroho
ISBN              : 978-602-28--8063-9
Penerbit         : Buku Pintar
Tahun terbit   : 2014
Tebal/ukuran  : 317 halaman
Menjadi penulis kreatif adalah harapan para penulis dalam menapaki dunia kepenulisan. Bahasa yang gurih, mudah dipahami, apalagi mengundang minat baca merupakan tujuan dari tulisan itu sendiri. Penulis tentu akan senang apabila karyanya bisa dibaca oleh semua orang. Harapan ini tidak mudah didapatkan dengan sekali kedipan mata saja. Ada banyak aspek yang perlu diperhatikan. Bahkan membutuhkan waktu tidak sebentar dan perjuangan yang besar.
Ipnu menuliskan kiat-kiat menjadi penulis kreatif dengan Bahasa yang ringan, mudah dipahami, dan contohnya juga sederhana. Terlebih lagi berdasarkan kenyataan tentang penulis-penulis yang sudah berhasil. Seakan Ipnu telah membaca kayra mereka dan mengetahui karakteristik tulisan. Buku ini mudah diikuti tahap demi tahap dan memberikan rasa candu saat membacanya. Satu halaman saja tidak cukup, butuh banyak halaman lainnya hingga tuntas.
Sisipan visualisasi dengan gambar pendukung penulis yang telah menerbitkan buku membuat kesan buku tidak membosankan. Apalagi pemilihan warna dan jenis tulisan yang berkesinambungan membuat buku ini nyaman ketika membacanya.
Ipnu memberikan persepsi yang lain ketika kegiatan menulis ini bisa ditulis oleh siapa saja. Termasuk orang-orang yang memiliki keterbatasan. Misalnya Gol A Gong yang kehilangan tangan kirinya sejak kecil. Tetapi tidak menyurutkannya untuk menjadi orang yang berhasil menjadi penulis. Tidak ada batasan dalam menulis selagi manusia itu mampu.
Penulis itu lebih dekat arahnya sebagai pembaca. Maka penulis harus bisa memposisikan dirinya sebagai pembaca jika ingin menjadi penulis yang kreatif. Apa yang pembaca ingin temukan dari tulisan kita? Penulis bisa menulis secara bebas apa yang terlintas dibenaknya tanpa perlu diedit terlebih dahulu untuk menguraikan ide yang mengalir. Hal ini tentulah sependapat degan pernyataan ‘Menulislah dulu’.
Seorang penulis pasti memiliki seseorang yang ia idolakan. Anggap sajalah penulis terkenal lainnya seperti Tere Liye, Dee Lestari, Asma Nadia, dan lain-lain. Terkadang, sangking sukanya dengan tulisan mereka hingga membuat tulisan sendiri seperti memiliki gaya Bahasa yang serupa. Namun tidak mungkin pula selamanya penulis itu memiliki gaya Bahasa yang identik seperti penulis idolanya. Lambat laun, seiring banyaknya pengalaman yang ia lewati akan membentuk gaya Bahasa khas tersendiri. Ipnu meyakinkan ini dalam sebuah kata mutiara yang bermakna pada halaman 89.  “Jadilah diri Anda sendiri, karena bisa jadi Anda jauh lebih baik daripada penulis yang Anda idolakan.”
Menulis akan terasa greget apabila memiliki tenggat waktu yang ditetapkan dan harus dipatuhi. Mulai dari target, penyelesaian, waktu, dan beberapa pertimbangan apabila berhasil maupun tidak. Seorang penulis juga harus bisa memperhatikan asupan gizi dan kondisi tubuh ketika hendak menulis. Bisa jadi, kondisi lingkungan akan mempengaruhi. Menulis di kala santai dan tenang tentulah berbeda dengan orang yang menulis dengan perasaan marah dan emosi. Begitulah menulis di kala tempat berantakan maupun tempat yang rapi.
Buku ini tidak hanya memberikan motivasi belaka supaya pembacanya bisa menjadi penulis kreatif. Namun memberikan cara yang terarah mulai dari menggali ide, menemukan ide, alasan kehilangan ide, hingga mempertimbangkan jenis tulisan yang akan dipilih. Apakah buku fiksi maupun non fiksi. Setelah mengetahui buku apa yang akan ditulis. Penulis memberikan tips untuk mengembangkan ide dan menentukan judul buku.
Ipnu yang juga penulis buku Tiga Pocong Idiot ini telah menerbitkannya menjadi buku terlaris sebelumnya dan diangkat menjadi sebuah film yang ditayangkan di Bioskop seluruh Indonesia. Seakan membuat pembaca percaya bahwa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Bahkan dalam tips cara mencetak buku best seller. Ia menyisipkan sebuah kata dalam halaman 275, “Being the best is great, you’re the number one. Being uniqe is the greatest, you’re the only one.” (Menjadi yang terbaik itu bagus, Anda adalah nomor satu. Menjadi unik adalah yang paling bagus, karena Andalah satu-satunya)
Buku ini sangat bermanfaat bagi orang-orang yang ingin berkecimpung di dalam kepenulisan. Baik itu penulis yang ingin menulis buku fiksi maupun nonfiksi. Bahkan orang-orang yang sudah lama mendalami kepenulisan semakin meningkatkan semangat juang. Sebab kegagalan bukan hanya dilalui oleh para penulis pemula tetapi juga senior. Namu mereka tetap melewatinya dengan semangat yang pantang menyerah.

Nah, bagaimana menurut kalian? Ada yang tertarik nggak? Kalau tertarik bisa dibaca di aplikasi Ipusnas. 

Ketika Monna Mengejar Harapan

Ketika Monna Mengejar Harapan
Sebagai Ceo-Mentor pada kelas resensi. Saya mulai berani meresensi suatu karya. Yeay, setelah sekian purnama hanya sekadar wacana dan angan-angan saja. Sebenarnya sudah banyak juga buku yang sudah dibaca. Belajar tanpa bimbingan terkadang membuat diri enggak pecaya diri. Hingga terkadang saya bingung dengan apa yang sudah dituliskan. Ini sebenarnya review atau resensi ya. Tuh kan, bingung sendiri. #plak Sebelumnya saya ingin berterima kasih kepada kak Dewi Khairani yang sudah bersedia membimbing di kelas resensensi. Kepada teman-teman yang lain juga. Merekalah yang membuat saya semakin semangat. Asyik. 



Oke ...

Jangan lupa silahkan like, comment, dan Follow. Hehe ...
Buku ini bisa kalian baca di aplikasi ipusnas. Nah, berhubung jumlah kata di Instagram itu terbatas. Kan sayang enggak ada yang baca. Jadi di sini aja deh.

Judul buku      : Running For Hope
Penulis            : Dona Sikoembang
ISBN               : 978-602-7888-15-9
Penerbit           : Mizan
Tahun terbit     : 2013
Tebal/ukuran   : viii+236 halaman /20,5 cm

Setiap orang pasti tidak menginginkan berkecimpung di dalam kemiskinan. Apalagi sudah turun-temurun dari nenek moyang. Namun apakah miskin itu adalah keturunan? Bukankah kehidupan bisa diubah jika mau berusaha? Monna selalu mempertanyakan hal itu.

Kisah Monna bercerita tentang cita-citanya yang ingin berkuliah di Universitas Indonesia dan menjadi seorang sarjana hukum. Pada hari kelulusan SMA ia harus menemukan fakta bahwa kehidupan perekonomiannya tidak mengizinkan ia berkuliah. Ayah bekerja sebagai tukang ojek dan menghidupi keempat Putrinya dan istrinya yang sakit-sakitan. Malam itu, setelah makan malam. Ia menyampaikan keinginannya pada sang ayah. Kendati mengharapkan restu, sang ayah marah besar dengan menjatuhkah piring kemudian pergi dari rumah.

Monna yang kerap dipanggil Nana ini sudah pasrah dengan apa yang terjadi. Keesokan paginya sang ayah memperbolehkannya untuk mengikuti ujian perguruan tinggi. Ayahnya berhenti menjadi tukang ojek dan menjual kereta untuk biaya perjalanan Nana mengikuti ujian. Betapa Monna sangat bahagia. Ia sudah mempersiapkan dirinya jauh-jauh hari untuk mengikuti ujian tersebut. Namun pada saat ia hampir menyelesaikan ujiannya. Lembar jawaban jatuh ke lantai dan terpijak oleh seseorang.  Akhirnya, ia pasrah pada impiannya menjadi seorang mahasiswa.

Kisah piluh yang Nana alami mengajarkan kita tentang arti kesabaran. Nasib malangnya belum sampai di situ. Ia menemukan fakta bahwa ia merindukan keluarga ketika ia berada di kota. Kehidupan perkotaan justru tidak seperti apa yang ia pikirkan. Meskipun Nana mendapatkan makanan dengan lauk ayam. Ia tidak berselera. Justru ia rindu dengan masakan ibunya yang hanya sekadar nasi saja.

Kisah ini bersetting Minangkabau. Hidup di desa dengan segala kekurangan. Monna hanya ingin hidup jauh lebih baik dari kesengsaraan. “Berlama-lama meratapi kesedihan bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah karena aku tahu sesungguhnya hidup bukanlah seperti cerita di layar kaca. Tidak akan ada bidadari cantik bersayap putih memainkan tongkat ajaibnya dan mengubah semua seperti yang kuinginkan. Inilah hidup yang sebenarnya dan akulah bidadari yang akan menyulap kehidupanku sendiri menjadi yang kumau.” (Halaman 121)

Penulisan dengan sudut pandang pertama ini benar-benar membuat jalan cerita terasa hidup. Apalagi kondisi jiwa tokoh utama sendiri. Bagaimana pilu dan tegarnya ia harus menghadapi rintangan dalam kehidupan. Bersabar dan tidak mengeluh merupakan makna tersirat dari Monna yang selalu memikirkan jalan keluar dari setiap permasalahan.

Kisah ini bukan hanya tentang kesengsaraan Monna saja. Melainkan teka-teki yang harus dijawab bersama melalui serangkaian kejadian skenario-Nya. Bumbu cinta juga mengisi kehidupan Monna dengan si Timur. Kehidupan saudari Monna yang turut disajikan membuat alurnya mengalir.
Memiliki mimpi itu seakan memberikan harapan baru untuk tetap berusaha dan senang menghadapi segala rintangan. Lalu bagaimana apabila mimpi itu tidak terwujud? Apakah akan menjelma menjadi sebuah kegilaan atau hal yang lain? Sekali lagi Monna menjawabnya dengan serangkaian kejadian Running for Hope yang artinya mengejar harapan. Karena hal itulah yang membuatnya merasa selalu hidup,
Penulisnya sendiri berlatar belakang SMA. Seolah memberikan sebuah gambaran bahwa kisah Running for Hope ini berdasarkan kisah nyata pengalaman hidupnya.
Penyajian awal dan akhir kisah sangat membuat terkesan. Hanya saja pada penyajikan kisah cinta si Monna sedikit kurang memuaskan. Hanya berdasarkan perasaan si Monna sehingga titik terang masih belum kelihatan meskipun cerita mendekati ending.

Buku ini cocok kepada siapa saja memiliki harapan dalam kehidupan. Jika pun belum menemukan harapan akan memberikan sebuah pencerahan tentang harapan itu sendiri. Sebab harapan akan membuat diri terasa hidup.

Kira-kira begitulah yang bisa saya resensi. Kira-kira ada yang merekomendasikan buku yang mau diresensi nggak? Tapi, bukunya tersedia di ipusnas ya. 

Terima kasih.