Keadilan dari Beberapa Sudut Pandang

 


Berbicara tentang keadilan. Agaknya kita harus tahu sebuah takaran yang sesuai dengan porsinya. Secara sederhananya, kita bisa melihat sebuah contoh dalam sebuah keluarga di mana memiliki beberapa bersaudara. Ada seorang kakak yang sudah SMA dan ada seorang adik yang masih kelas satu sekolah dasar. Sang kakak diberikan uang sepuluh ribu sebagai bekalnya pada hari itu di sekolah. Sedangkan sang adik diberikan uang dua ribu. Jika berbicara tentang nominal. Tentulah kita bisa menilai bahwa jumlahnya tumpang tindih. Namun jika kita melihat tempatnya diberikan. Ini memang sudah adil.

Ada banyak faktor yang membuat sang kakak memang layak diberikan uang sepuluh ribu setiap harinya. Mulai dari jarak dari rumah ke sekolah. Hingga kebutuhan yang diperlukan di sekolah. Semakin besar seseorang, tentu banyak pula pengeluaran. Selain itu, kebijakan dan tanggung jawab dalam memegangnya sudah bisa dipercaya. Sehingga orang tua tidak perlu khawatir jika ada pengualaran tidak terduga dari diri sang anak. Tinggal pandai mengolah keuangan secara mandiri saja.

Lantas bagaimana jika adiknya yang diberikan takaran yang sama dengan sang kakak? Nominal sepuluh ribu cukup besar untuk porsi anak kelas satu SD. Pemikiran mereka masih terbayang dengan kata jajan dalam benaknya. Mereka masih belum memahami hal yang memang sangat diperlukan dan tidak. Jika dibiarkan terus-terusan diberikan uang yang besar. Bisa jadi mereka akan membentuk diri dengan pribadi yang boros. Namun lain halnya jika orang tua mampu mengajarkan anaknya untuk menabung.

Keadilan bukan hanya berorientasi di dalam sebuah keluarga saja. Melainkan banyak tempat, sisi, dan waktu.  Mulai dari hal yang kecil hingga besar. Konsep adil yang paling dekat adalah pada diri sendiri sendiri. Meskipun terdengar sepele. Namun hal ini bisa menjadi tolak ukur dalam keberhasilan seseorang. Bagaimana kita bisa membagi waktu yang adil untuk bekerja, istirahat, dan tidur. Semuanya harus seimbang untuk membentuk kepribadian yang ideal. Maka istilah ‘sepele’ ini bisa menjadi sudut pandang yang berbeda dan sangat penting jika kita menghendaki.

Mari kita mengambil contoh adil dalam membagi waktu. Mungkin ini merupakan sebuah fenomena yang sudah tidak asing lagi di kalangan anak muda. Waktu malam, apakah kita sudah menggunakan dengan sebaik-baiknya? Biasanya anak muda sering kali mengalami hal ini. Tidur larut malam dan bangun kesiangan. Padahal pada waktu malam di sepertiga malam adalah waktu yang paling mustajab dalam berdoa. Sungguh amat disayangkan jika terlewat begitu saja. Segalanya sudah ada takarannya. Hanya saja, terkadang manusia itu sendiri yang memilih melebihkan dan mengurangi takaran sesuai kehendak yang diinginkan. Padahal belum tentu apa yang menurut kita baik itu baik dan apa yang menurut kita buruk itu buruk. Hal ini dituangkan dalam surah Albaqarah ayat 216. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” Sayangnya, keinginan tidak bisa memberikan gambaran apakah sesuatu yang di depan mata itu baik atau sebaliknya. Hal ini hanya bisa diketahui setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan mengambil sebuah hikmah dari pelajaran kehidupan.

Lantas, bagaimana dengan keadilan di negeri ini? Terkadang kita bertanya, apakah hidup ini sudah benar-benar adil? Apalagi pemberitaan sana-sini yang diberitakan di televisi membuat hati gusar tentang orang-orang yang mencari keadilan. Bahkan tidak segan-segan melalui jalan dengan bertindak kejahatan hanya demi keadilan.

Keadilan di Negara Indonesia tertuang pada sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun fenomena yang sering kita temui adalah ketidakadilan di Negara ini masih belum merata. Khususnya masyarakat kelas bawah. Sedangkan pada orang-orang yang berada di tingkat atas seolah dengan begitu mudahnya menetapkan keadilan sesuai dengan versi mereka. Bahkan tidak asing lagi orang-orang mulai berspekulasi bahwa keadilan di negeri ini memiliki syarat dan ketentuan yang berlaku.

Bahkan ada pula yang percaya bahwa faktor penegak hukum dikendalikan oleh kekuatan keuangan di dalam proses penegak keadilan. Sehingga orang yang berkuasa akan mendapatkan keringanan hukuman sedangkan orang yang tidak berpunya akan dihukum sesuai dengan ketentuan. Bahkan lebih berat hukumannya. Hanya saja praktik suap menyuap seperti ini tidak diberitakan secara terang-terangan di media massa, Jika pun berani memberitakannya, bisa jadi pencitraan media tersebut akan terancam. Jelas, hal ini bukanlah keadilan yang sesungguhnya.

Belum lagi orang-orang kaya semakin berkuasa. Sedangkan orang miskin semakin terpuruk. Tumpang tindih di antara orang-orang yang tidak tergerak hatinya untuk saling memberi dan mengasihi satu sama lain akan membentuk ketidak seimbangan dalam tatanan kehidupan. Namun begitulah fakta yang terjadi selama ini. Bukan hanya di negara ini saja. Tetapi negara lain yang memiliki persoalan sama dalam polemik kehidupan.

Konsep keadilan juga dapat dinilai dari tatanan kehidupan di Negara ini. Faktanya, kita masih menemukan betapa banyak kasus kemiskinan, gizi buruk, dan kekerasan. Belum lagi fenomena penyimpangan sosial lainnya. Hal ini mencerminkan bahwa mereka merasakan ketidakadilan di dalam kehidupan. Sehingga mendorong diri untuk menyimpan penyakit hati yang tidak seharusnya. Semakin banyak permasalah seperti itu kita temui. Maka keadilan di Negara tersebut masuk dalam kategori krisis.

Allah swt telah menyuruh hambanya untuk berbuat adil dan melakukan kebaikan di dalam kehidupan. Hal ini tertuang dalam surah An-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses keadilan itu tidak didasari oleh perbuatan keji berupa menzalimi orang lain, kemungkaran dengan memberikan kesaksian palsu dan permusuhan di antara sesama manusia. Maka apabila ditetapkan akan mejadi sebuah pengajaran yang dapat diambil pelajarannya berupa hikmah kehidupan.

Berlaku adil merupakan sebuah bentuk kebajikan yang harus diterapkan dalam kehidupan. Sesuatu yang setimpal, seimbang secara nalar, dan tepat pada tempatnya. Tidak memandang apakah orang itu kaya, miskin, pejabat ataupun orang biasa. Jika seseorang itu bersalah harus mendapatkan hukuman. Hal ini juga ditegaskan dalam surah An-Nisa ayat 135. “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri ataupun terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwah) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashalatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.” Ayat ini sudah sangat jelas menyuruh kita untuk menegakkan keadilan dan tidak mengikuti hawa nafsu untuk menyimpang dari kebenaran. Bahkan terhadap diri sendiri dan kaum kerabat. Padahal, seperti yang kita tahu bahwa kedekatan itu mendorong hati untuk selalu menyelamatkan meskipun seseorang itu bersalah.

Keadilan dan kebenaran ini merupakan paket komplit yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan tidak bisa diadobsi jika hanya satu sisi saja. Kebenaran tanpa keadilan tidak akan memberikan sebuah solusi dan menjadikan kejahatan akan terus meningkat. Sedangkan keadilan tanpa kebenaran hanya sebuah omong kosong belaka dan merupakan sebuah kebohongan yang bahkan berdampak buruk bagi kehidupan selanjutnya. Bisa jadi akan menimbulkan dendam kesumat dan kejahatan lainnya. Maka keadilan itu harus didasarkan kebenaran terlebih dahulu untuk memutuskan suatu perkara.

Jika hari ini kita masih saja mempertanyakan sebuah keadilan yang hadir dalam kehidupan ini. Maka ingatlah di akhirat nanti kita juga akan memasuki fase semuanya akan diadili baik yang tampak maupun tidak. Baik itu sesuatu yang besar maupun kecil. Tidak ada yang bisa lolos dari fase menuju alam keabadian ini. Semuanya pasti akan melaluinya.

Seseorang yang ingat akan pertanggung jawaban di akhirat pasti memiliki sikap hati-hati dalam bertindak. Konsep berpikir sebelum bertindak akan dipegang teguh dalam pedoman hidup. Ia akan memikirkan ketika seluruh anggota tubuh mengatakan kebenaran apa yang telah dilakukan selama di dunia. Mata, hati, tangan, dan kaki akan menjadi saksi. Sedangkan mulut hanya bisa terbungkam. Tidak ada yang bisa membantah. Bahkan sebesar zarah pun akan diperhitungkan.

Jangan sampai diri bersikap zalim hanya karena lupa dengan keadilan. Sebuah kebalikan dari sikap adil yang selama ini harus ditegakkan. Jika hari ini kita masih menemukan orang-orang yang bersikap zalim pada orang lain. Mari menengadahkan tangan dan berdoa semoga Allah swt membukakan pintu hati mereka yang tengah tertutup. Aamiin ya rabbal alamiin.

Ikhitiar dan doa juga sama-sama ditegakkan dalam keadilan. Agar jalannya bisa berkesinambungan dan menjadi keberkahan, Sebisa mungkin jangan hanya diam saja jika melihat orang yang tidak bisa berlaku adil. Hal yang bisa dilakukan untuk menyadarkan mereka adalah dengan menegur ataupun memberi tahu di saat waktu yang tepat. Terlebih lagi jika hati memungkinkan sudah siap untuk diberikan pencerahan.

Begitulah serangkaian pembahasan tentang keadilan yang bisa diulas kali ini. Semoga kita semua bisa berlaku adil pada diri sendiri, kerabat, saudara seiman, dan orang lain. Sehingga kehidupan yang damai dan sejahtera di kemudian hari akan datang dengan sendirinya.

Previous
Next Post »