Jika ingin mendengarkan backsound musicnya bisa mendengarkannya. Song by Al-Khadijah dengan judul Syaikhona.
Asyifa
mengikuti barisan yang ada di depannya. Rela berdesak-desakan hanya ingin
bersalaman secara langsung dengan tokoh idola. Orang-orang mulai sibuk dengan
tujuan mereka sedangkan suasana tidak begitu sumringah. Angin yang berembus
mesra menemani ruang lingkup tersebut. Ia sudah memastikan penampilannya cukup
sopan kali ini dengan gamis kesukaannya.
Beberapa
menit kemudian ia benar-benar menemui wajah tampan itu. Lelaki yang mampu
memporak-porandakan jantungnya dan membangkitkan hormon dopaminnya. Kini di
mata Asyifa lelaki itu terlihat sangat menawan dengan kemeja cokelat kehijauan
yang ia kenakan. Asyifa menangkupkan telapak tangannya seraya tersenyum dan
dihadiahi pula senyuman yang sama. Ia salah tingkah dan menyentuh pucuk telapak
tangan yang sama-sama menangkup itu.
“Duh,
dasar bodoh! Seharusnya aku bisa mencegah diriku tadi,” runtuknya. Ia merasa
konyol dengan serangan yang ia lakukan. Alih-alih menjaga dirinya ala ukhti
malah menelantarkannya keshalehannya. Ia tidak bisa membendung rasa sukanya.
Malah terbelenggu dalam hasratnya dan orang-orang tetap tidak ada yang peduli
dengan dirinya. Asyifa sendirian menyikapi hatinya yang menyatakan sedang
bahagia. Tenang dan memenuhi ruang kosong dalam kalbunya.
Asyifa
masuk ke ruang kelas dan menggendong beberapa buku besar di tangannya. Belajar
fisika benar-benar membuatnya serabutan. Pertama, pelajaran itu rumit. Kedua ia
tidak menyukai pelajaran tersebut. Entah karma mana yang harus ia tanggung atas
keputusan pendeknya bertahun-tahun lalu. Hingga saat ini ia tidak mencintai
ruang lingkupnya sendiri. Payah, seharusnya ia memilih memperjuangkan mimpinya.
Tapi,
toh itu semua tidak akan merubah takdir yang sudah digariskan untuknya di masa
lalu. Masa depannya tetap bisa Asyifa putuskan bagaimana arah dan tujuannya.
Bahagia atau suramkah? Ia tidak ingin melewati masa bahagianya dengan kesuraman
belaka.
Beberapa
menit kemudian pria yang Asyifa tunggu masuk
ke dalam dan duduk di samping kirinya. Kedua pipinya merona hebat saat langkah
pria itu mendaratkan diri di bangku. Karismatiknya sudah dapat ia deteksi saat pria
itu berada di depan pintu. Asyifa merasa nyaman ketika pria itu ada di dekatnya
dan membuka buku fisika juga.
“Mau
belajar bersama?” pria itu menawarkan dengan santun.
Alamak,
ini mimpi bukan? Asyifa benar-benar bersama pria itu. Otaknya mendadak konslet
seketika dan membalikkan sakelar otomatis tentang fisika. Sedangkan ruang hati
turut mendukung terang-terangan kehadiran pria itu. Apalagi pria itu memastikan
mereka untuk belajar bersama. Ia memerhatikan dengan saksama apa yang diajarkan
pria tersebut padanya.
Tetapi
kebahagiannya tidak berlangsung lama. Pria itu dipanggil orang untuk
melaksanakan sebuah tugas yang penting. Asyifa sedikit kecewa dengan keadaan
yang dihadirkan saat ini. “Mana Faiz?” tanyanya pada yang lain. Teman-temannya
menyuruh Asyifa mengecek sendiri keberadaan pria itu.
Asyifa
melihat Faiz sedang berada di kapal memakai jeket hitam tebal dan ditemani
burung-burung yang sedang terbang di atasnya. Serta ada beberapa orang-orang
asing lainnya di sekitarnya melalui instagram. Beberapa bangunan kasual di
belangkangnya terlihat elegan. Riakan air jernih begitu tenang membawa mereka
pergi. Ia tahu ke mana prianya pergi. Tempat yang jauh untuk menimba ilmu. Asyifa
hanya bisa menahan luapan kebahagiannya sejenak. Tak ada yang bisa ia lakukan
selain mengikhlaskan apa yang terjadi.
Keesokan
harinya Asyifa mengendarai sepedanya di pagi hari seraya menikmati nikmat sehat
yang Allah berikan padanya. Udara segar yang memasuki sistem pernapasan tiada
bandingnya dari udara manapun. Ia mengenakan pakaian training senyaman mungkin
untuk memberikan ruangan bebas pergerakan tubuhnya. Ekor matanya menyelisik
setiap halaman beberapa rumah telihat indah dengan taman-taman yang disedikan
empunya sebagai ruang penyejuk pandangan. “Itu rumah Faiz Haikal,” gumam Asyifa
dalam hatinya. Ia hanya punya harap-harap menjaga dalam dadanya. Tentang
kebahagiannya yang lindap kembali.
Asyifa
membuka matanya. Ia melihat jam dinding yang sedang berdetak dengan ritme
tertentu. Serta cahaya benderang buatan yang masuk ke retina mata. “Ah, sudah
jam dua ternyata,” ia menepuk jidatnya dan menyingkirkan bantal guling yang
sedang dipeluknya. Ada sayup-sayup kesal di rongga dadanya. Tentang
penyesalannya yang tidak bangun lebih awal tadi. Ia telah kehilangan seratus
bintangnya. Menyebalkan sekali.
Ia
melihat sekeliling katilnya yang tidak ada siapa-siapa selain bantal guling.
“Enggak
solat Fa?” tanya Mama yang sedang mondar-mandir memecah keheningan malam.
Asyifa
hanya ingin membungkam sejenak tentang keimanan dalam dirinya. Sebab perjanjian
dalam dirinya mengerjakan suatu persoalan. Ia sangat bersyukur melihat mamanya
seperti ini. Tapi untuk hatinya sendiri. Ah, ia perlu banyak waktu untuk
menyetel ulang rasa tentram dalam dirinya. “Kalau Mama?” tanyanya balik.
“Ya
udah duluanlah Fa,” ucapnya seraya bergantian merebahkan diri di atas katil
Asyifa.
Ada
rasa berat hati yang menggerogiti hati Asyifa. Ia tidak punya hasrat untuk
bertemu Tuhan di sepertiga malam. Baginya ruang kosong yang yang kering
kerontang ini masih ingin terus ia pupuk untuk sementara waktu. Ada baiknya
memejamkan mata kembali. Meskipun kesadarannya masih setengah. Ia mencoba
menyingkirkan perasaan lainnya ketika bangun tadi semoga saja ingatan apalah
itu lenyap seketika. Bermimpi setiap kali tidur itu terasa menyebalkan. Seolah
tidak ada waktu tidur yang berkualitas bagi dirinya.
Asyifa
bangun lagi seraya menerka dirinya pasti bangun kesiangan. Mungkin saja pukul
tujuh atau setengah delapan. Namun cahaya lampu tidak mungkin membohongi
dirinya. Ia yakin sekali ini bukan jam biasa. Kedua bola matanya membulat
seketika ketika melihat jarum panjang tersebut berhimpitan di angka enam. Itu
tandanya ini masih setengah enam.
Setelah
melihat samping kanannya, ia melihat Mama sedang memenuhi kewajiban solat subuh
dengan khusyuk. Buru-buru ia bangkit dan melakukan hal yang sama. Kemudian
melirik ventilasi udara ruang tamu yang mengisyaratkan suasana fajar. Asyifa
segera berwudhu dan mengerjakan kewajibannya juga.
Asyifa
duduk di meja belajar dan mengambil buku referensi tugas kuliahnya. Baru
membuka halaman pertama, ia baru sadar bahwa solat tadi merupakan waktu yang
langkah bagi dirinya. Kali pertama setelah beberapa hari yang lalu. Ia agak
sedikit khusyuk mengerjakannya.
Tidak
hanya satu keheranan itu yang mengendap dalam dada. Tetapi hatinya yang menyimpan
bongkahan sesuatu. Ingatan tentang pria itu membuat setruman saraf motoriknya
aktif. Ah, Asyifa merasa tidak percaya ia bisa memimpikannya. Ini juga kali
pertama bagi dirinya setelah sekian lama ia mengikrarkan dalam diri bahwa pria
itu merupakan tokoh idolanya. Pemikiran usilnya pun mengatakan ini merupakan
suatu petunjuk bahwa Asyifa harus berubah. Bisa jadi sebagai isyarat bujuk
membujuk menjadi pribadi yang baik sebagaimana biasanya.
“Kau
kerjainlah soalmu. Kau tengok tuh yang lain udah pada tamat sedangkan kau
sendiri masig gitu-gitu aja. Sudah berapa soal?” tagih Mama di belakang Asyifa.
Asyifa
masih memandangi rententan huruf di hadapannya. “Delapan Ma.”
“Baru
delapan. Bagus kali ya. Ngapain aja?” tanya ulang Mama lagi menegaskan
ketidakbecusan Asifa.
“Yaudah
Mama aja yang ngelanjuti soalnya.” Asyifa tahu benar apa yang ia perbuat. Ia telah
melewati fase galau mengerjakan ini semua. Menyebalkan sekali. Entah berapa
banyak waktu yang sudah ia habiskan untuk mengerjakan ini semua. Otaknya terasa
dangkal ketika mendapatkan revisi yang ini.
Bila
menangis pun tidak akan mengubah segalanya. Sedangkan hatinya sudah sangat
kecewa setelah terombang-ambing tak tentu arah. Asyifa tidak tahu ke mana lagi
ia harus membawa rasa sedih yang bercokol hanya tidak bisa mengerjakan soal.
Namun mimpi tadi pagi seolah ingin mengatakan bahwa ia pasti bisa mengerjakannya.
Entahlah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Bersambung