Gambar 1. Ekspresi marah
Aku marah, tapi tak kupilih dengan membanting pintu ataupun mencerca yang bukan-bukan. Namun diam, yang diam-diam mendekam seribu bahasa terpendam.
Siang itu, pekerjaanku sangat banyak. Kebanjiran projek yang aku sendiri sulit membagi waktu untuk mengurusi diri sendiri apalagi lingkungan sekitar. Aku capek, lelahnya tak berkesudahan meskipun hanya berada di depan laptop. Jari-jariku sudah sangat lelah sekali setelah kuajak kerja rodi.
Pada saat titik terendah itu, Ibu datang. Ia mengomel dan mengumpat yang bukan-bukan mendoakan keburukan untuk diriku. Sementara aku pun membela diri sembari memberi tahu bahwa sekesal apapun aku di masa depan nanti tidak akan pernah mengucap hal buruk kepada anakku kelak.
Ada banyak ruang yang bersinggungan di dalam dadaku. Sesak yang kutanggung sendiri, tapi tak berani kuluahkan. Semakin aku berbicara, semakin itu pula ibu mencapku sebagai 'anak yang durhaka, si tukang melawan'. Padahal selama ini, aku berusaha untuk melupakan kebaikan apa yang telah kupupuk dengan sepenuh hati. Namun tak cukup pula membuatku berharga di matanya. Sungguh, aku bukannya manusia yang haus akan pujian. Hanya saja, bisakah setidaknya aku dipahami atas apa yang tengah terjadi? Salahku memang, tak bisa kukontrol emosi yang meluap. Sementara posisinya, kami sama-sama sangat lelah setelah usai berkutat dengan pekerjaaan masing-masing. Aku pun hanya bisa membatin seraya mengatakan, "maaf Bu, aku belum dewasa dalam menghadapi semua ini."
Akhirnya aku pun memilih diam dengan ragam seribu kemarahan yang meluap dalam diriku. Beribu pertanyaan tengah mengudara di kepalaku. Rasanya percuma sekali berusaha berbakti di hadapan Ibu. Jika hasilnya aku merugi di dunia dan mungkin bahkan di akhirat. Seperti pada kisah-kisah para alim di masa lalu. Tidak bisa sakaratul maut, hanya karena sang Ibu marah padanya. Solusinya dengan membakar jasad hidup-hidup.
Yah sudahlah. Aku pun berusaha menyingkirkan perbandingan orang lain yang memiliki ibu sabar terhadap anak-anaknya. Sehingga menjalin rezeki yang luar biasa di dalam setiap pergerakan sendinya.
Sementara aku? Sejak zaman batu, seperti biasa. Jika orang lain bisa mendapatkan jutaan dari hasil kerja upayanya. Aku pun hanya bisa menghela napas berulang kali dan terus memperjuangkan apa yang menurutku lebih membuatku tenang, yaitu menulis. Terus menulis sampai dadaku yang tadinya sesak berangsur-angsur membaik.
Kenapa pula aku berpikir hal yang demikian? Sebab menurut banyak nasihat di belakang truk ataupun angkot selalu ada slogan. "Berkat doa Ibu." Sementara aku? Bukannya masih bisa bernapas saja rasanya sudah sangat bersyukur sekali. Sementara di luaran sana ada banyak orang yang tak memiliki Ibu. Seharusnya lebih banyak mengadakan ruang syukur, alih-alih ruang keluh kesah yang hanya menyakiti diri sendiri.
Peduli amat orang lain mengatakan aku gila karena menulis. Padahal faktanya aku gila karena memendam kemarahan, tekanan, dan beragam persoalan lain seorang diri hingga tak berani mengungkapkan apapun. Alih-alih memendamnya supaya berbuah manis, malah menjadi busuk.
Olah Rasa Menjadi Beberes Rumah
Entah sejak kapan aku punya ide lain mengalokasikan rasa marahku dengan membersikan rumah. Rasanya baru-baru ini aku mengetahuinya, semenjak mengetahui kemunculan buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring, aku pun mulai mempraktikkan beberes rumah meskipun belum pernah membaca bukunya sama sekali. Namun pernah juga mengikuti webinarnya ketika ia melaunchingkan buku itu bersama dengan Kemenkeulib.
![]() |
| Gambar 2. Ilustrasi bersih-bersih |
Sambil membawa amarah dalam diam, aku pun menyikat lantai kamar mandi secara keseluruhan. Kemudian menyiramnya hingga bersih. Sampai aku pun menyadari bahwa kondisi kamar mandiku kini sudah sangat kinclong sekali. Tak berhenti sampai di situ saja, aku pun mengambil sapu dan pel pagi-pagi buta, dan melakukan pekerjaan beberes lainnya. Energi kemarahan akhirnya tersalurkan menjadi bentuk yang lain. Mau menambah kepasitas marah, cuma kok semuanya sudah kelihatan bersih dan rapi. Positifnya lagi, aku pun sudah mandi pagi-pagi buta tanpa drama malas. Rasanya aktivitas yang kulakukan sebelas dua belas dengan rasa bahagia. Soalnya kalau bahagia aku juga serajin itu.
Diam Masih Menjadi Misteri
Aku enggak tahu kapan amarahku benar-benar usai. Namun yang jelas, aku tak pandai bermuka dua. Apabila marah, dahiku terus berkerut, ekspresi wajah pun cemberut. Yah, daripada menjadi ladang dosa, mending aku mah diam saja. Kalau ditanya diam dan hanya bisa angguk-angguk, ataupun menggeleng. Hanya saja, kalau marahnya sudah level dewa sudah tidak ada respon sedikitpun diriku.
Masih berkutat dengan energi diam. Perasaanku sesungguhnya kacau balau, otakku tak berhenti memikirkan ntah apa-apa. Diam, tapi hatiku sungguh sangat berisik sekali. Kalau marah dengan manusia, aku masih bisa berdoa dan bercerita kepada Allah. Bahkan menambah durasi tilawah.
Begitulah caraku mengalokasikan energi marah saat ini.
Kalau kalian bagaimana cara mengolah rasa marah menjadi energi positif? Tulis di kolom komentar ya.

