Showing posts with label diary skripsi. Show all posts
Showing posts with label diary skripsi. Show all posts

Salah Eksekusi Rencana, Berakhir Ambyar

Salah Eksekusi Rencana, Berakhir Ambyar

Saya ingin membahas topik ini sejak lama sebenarnya. Hanya saja, baru sekarang menyempatkannya dan itu pun berasal dari rasa keresahan di pagi hari. Nyaris sakit perut kalau dipikirkan dan tidak ada solusi sama sekali.

Pemikiran yang datang itu akan seperti hujan badai membasahi seluruh kinerja hidup. Masih mending kalau hanya sekedar basah. Kalau ujung-ujungnya terluka karena butiran kristal air hujan. Itu pula yang malah menyakitkan.

Seringkali waktu dan keinginan yang tidak singkron. Sehingga menyebabkan kita itu sering bertanya. Apa sih yang saya cari selama ini? Atau malah apa sih yang sedang saya lewatkan sebenarnya? Semuanya mengalir begitu saja. Sehingga tanpa sadar bahwa ada rasa penyesalan tersendiri gitu. Tanpa pernah berpikir untuk menghindarinya di masa depan nanti.

Terperangkap dalam banyak pilihan. Susahnya itu hanya banyak keinginan.

Itulah yang membuat saya semakin resah. Sangking banyaknya keinginan malah membuat segalanya berakhir tidak jelas. Belum lagi hati yang gampang terbolak balik. Misalnya gini nih. Saya tuh mau menyelesaikan novel sepuluh bab dalam sehari. Sudah diniatin nih. Namun saat di tengah jalan saya malah merasa jenuh kebanyakan ngetik. Rasanya malah ingin muntah. Sekelas alergi gitulah jadinya. Tidak ada inspirasi sema sekali. Tapi sebenarnya saya tuh hanya bisa menyelesaikan paling banyak lima bab dalam sehari. Nah, keinginan yang sepuluh bab ini malah menjadi tidak sesuai. Ujung-ujungnya akan berakhir dengan dilema yang akan menghambat diri. Belum lagi, kesehatan itu juga harus dijaga. Saya itu manusia. Bukannya robot yang bisa diajak kerja terus –terusan.

Longfellow seorang penyair terkenal Amerika Serikat menyatakan bahwa, “Kita menilai diri sendiri dari apa yang bisa kita lakukan. Orang lain menilai kita dari apa yang sudah kita lakukan.”

Pada akhirnya kita memamg harus sadar bahwa apa yang kita lakukan itu seharusnya merujuk ke masa lalu. Pencapaian apa yang bisa didapat dalam waktu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bukan sebuah keinginan yang belum pernah dicapai.

Boleh-boleh saja sebenarnya keinginan kita  yang banyak dan tinggi. Sama seperti jumlah bab yang ingin saya kerjakan dalam satu hari. Hanya saja, anggaplah hal itu merupakan target maksimal. Sedangkan apa yang telah kita lakukan itu merupakan target minimal. Supaya lebih bersiap-siap diri sajalah gitu. Enggak perlu terlalu menyakit diri sendiri dengan pencapaian yang di luar kebiasaan.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan supaya tidak berakhir ambyar karena salah eksekusi.

1.      Tentukan Jangka Panjang dan Pendek

Anggap sajalah kita sudah memiliki keinginan masing-masing. Saya sering melewatkan bagian ini sebenarnya. Sering terjebak dalam jangka pendek tapi lupa dampak ke depannya seperti apa. Jika kalian pernah mengalaminya. Itu berarti kita satu lingkaran nasip. Sayangnya, tips ini memang sudah saya dengar sejak dulu. Tapi ingatan saya malah terlintas kepada Bang Sukma yang mengatakan pesan tersebut di masa lalu. Seolah memang sedang memberikan petunjuk sendiri bahwa saya tuh musti berubah.

Hari ini mungkin kita masih berpikir untuk bisa menyelamatkan diri di hari esok. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kita bisa menyelamatkan diri di minggu berikutnya, bulan berikutnya, atau tahun berikutnya. Jangan sampai malah terjebak praktik robot jadinya. Kasusnya malah menjadi itu lagi, itu lagi. Hingga rasanya enggak selesai. Ekspektasinya enggak sesuai. Eh, malah nambah lagi. Mungkin cara ini bisa kita pikirkan masing-masing.

2.      Skala Prioritas

Ada empat bagian dari skala prioritas ini. Ada yang penting dan genting; Penting tapi tidak genting; Genting tapi tidak penting; terakhir tidak penting dan tidak genting. Ini harus selalu diingat sebenarnya.

Pada bagian penting dan genting itu berupa masalah. Apa sih masalah yang harus kita selesaikan dalam waktu dekat. Batas akhirkah? Kondisi krisis dan kritis kah? Atau malah konflik yang sedang kita alami. Itu sudah yang harus diselesaikan. Biasanya ditandai dengan keresahan. Keresahan yang membuat kita itu harus keluar dari zona rasa sakit.  

Pada bagian penting tapi tidak genting itu berupa perencenaan yang sudah kita buat dari jauh-jauh hari. Menjalin hubungan baik dengan yang lainnya. Rekreasi dengan keluarga, teman, atau orang yang kita sayangi. Pencegahan dari yang namanya deadline.

Pada bagian yang ketiga inilah membuat saya sering terjebak. Apa itu? Pertemuan dadakan, laporan dadakan, pekerjaan menumpuk, dan aktivitas populer. Genting tapi itu enggak penting. Kesempatan, juga begitu sebenarnya. Saya sering sekali merasa ambyar ketika ada informasi dadakan berupa lomba. Iming-imingnya pun juga lumayan. Padahal sebenarnya saya juga punya rencana tersendiri. Hasilnya ketika kuadran ini yang diikuti. Saya akan berakhir kecewa jadinya.

Kuadran terakhir. Tidak penting dan tidak genting berupa zona nyaman. Rebahan di atas kasur. Bersenang-senang seperti bermain online. Kesibukan yang tidak penting dan menunda-nunda. Kadang-kadang kebiasaan ini menjadi hal yang sulit diubah kalau sudah terperangkap. Seperti jebakan batman gitu. Perlu diwaspadai kalau sudah terjebak.

Pertanyaannya adalah kuadran mana yang selama ini kita lakukan? Atau malah jangan-jangan malah kuadran keempat pula ini yang sering dilakukan. Coba deh dulu tanyakan dulu dari hati yang paling dalam. Merenungi langkah ke depannya seperti apa? Jangan sampai kita berakhir ambyar lagi. Ujung-ujungnya menjadi menyesal. Sayang banget masa lalu yang sudah dilalui.

Saya berharap saya sendiri juga bisa mempraktikkan ini dengan baik juga. Tidak hanya sekedar pemikiran yang singkat saja. Mari sama-sama kita merenungkan kembali hal ini.

 

 


Sebuah Penguraian Hari yang Telah yang Berlalu

Entah berapa lama saya mencoba menutup diri dari khalayak publik.
Saya yang dulunya memiliki ambisi kuat kini terlihat lemah tak berdaya.
Hanya karena sebuah skripsi.

Padahal hanya sebuah skripsi bukan?
"Tidak, mungkin saja salah memprioritaskan orang lain," ungkap sahabat saya.

Awalnya saya mengira apa yang telah berlaku pada diri saya pasti ada sebuah alasan. Saya akui memang, waktu yang telah berlalu tidak saya gunakan untuk rebahan dan rebahan. Hanya semata-mata mencari jati diri. Hingga saya menyadari bahwa seharusnya tidak seperti ini. Berpusat dan muter-muter di situ saja. Tidak ada perkembangan berupa pencapaian yang bisa dibanggakan. Bahkan orang tua saya malah kesal.

Saya yang dulunya sempat ceria ketika menemukan fakta bahwa menulis adalah bagian dalam diri saya dan merupakan terapi psikologis terbaik saat kondisi murung. Kini terpaksa saya cekal atas dalih sebuah skripsi. Kenyatannya membuat saya jungkir balik dan berujung pada sesak napas. Belum lagi merasa depresi tak terjabarkan hingga saya lebih suka tidur dan tidur lagi. Saya merasakan otak tidak bisa bekerja dan bawaannya selalu sedih. Seringkali ketahuan sedang tidur dan berdalih sedang mengerjakan skripsi.

Setiap hari terlewati, seminggu, bahkan sebulan terasa sia-sia. Ah, ini sungguh merugi.
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran." Q.S Al-Ashr ayat 1-3. Jika saya melirik lagi kandungan surah tersebut. Rasanya saya sungguh menyesal telah lari dari kenyataan. Bahkan parahnya saya telah gagal. Kondisi di mana berhenti dan menyerah. Malahan saya berharap keesokan paginya tidak menemukan pagi lagi. Ironinya saya masih ada sampai saat ini. Kehidupan masih tetap berlangsung. Suka atau tidaknya. Waktu terus terlewati begitu saja tanpa peduli saya berada di posisi yang mana.

Terlebih lagi saya menemukan sebuah pernyataan dalam surah Al-Hijr ayat 56 bahwa tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat. Kalau begitu, keputus-asaan yang telah saya lalui merupakan kesesatan.

Pada bulan ini saya mulai berpikir kembali. Pasti ada sesuatu yang harus saya jalani. Masih ada misi yang belum diselesaikan dan saya tidak boleh pergi sebelum menyelesaikan skenario-Nya. Begitu bukan?

Saya akui memang, ilmu yang saya pelajari ketika kuliah tidak melekat dalam hati. Bahkan lima tahun telah saya lalui masih belum cukup membuat saya jatuh cinta pada jurusan sendiri. Entah bagaimana caranya saya bisa dekat. Berulang kali saya mencobanya malah berujung kesia-siaan. Sulit sekali membuka hati. Apalagi ke semua itu didorong dengan hal-hal yang tidak penting.

Ada sebuah pernyataan yang sedang booming bahwa lulusan sarjana itu tidak menjamin kesuksesan atau kesesuaian seseorang dalam jurusan dan pekerjaan. Ya misalnya seseorang yang lulusan di bidang ekonomi seharusnya bekerja sebagai pengusaha tapi malah bekerja sebagai buruh. Saya mengira itu adalah sebuah kesalahan. Sebab persepsi seperti itulah yang membuat orang akan berpikiran sama pada setiap lulusan sarjana. Tapi kenyataannya. Memang ada yang seperti itu dan tidak pula menutup kemungkinan.

Sebenarnya menurut saya bukan instansi atau universitasnya yang salah. Tetapi balik lagi kepada orang yang menjalaninya. Pada akhirnya itu tidak terlepas pada pilihan. Setiap orang berhak menentukan pilihan dalam hidupnya. Apakah tetap bertahan dengan kondisinya atau melarikan diri demi sebuah kebahagiaan? Kehidupan ini terlalu disayangkan jika dihabiskan untuk kesedihan.

"Sebaik-baiknya manusia adalah bermanfaat bagi orang lain." (HR. Ahmad, no 3289) Kini saya pun tidak menuntut seperti itu. Jika saya tak mampu dalam kondisi itu. Setidaknya saya akan memulainya dengan memanfaatkan diri saya sebagaimana mestinya. Seperti hari-hari sebagaimana mestinya. Bangun di pagi hari dan tidur di malam hari. Tidak seperti kehidupan saya sebelumnya. Tidak peduli siang maupun malam saya akan tetap tidur.

Kebiasaan baik itu perlu diulang dan diasah kembali. Bahkan semangat yang saya miliki dimulai dari nol kembali. Saya berharap ke depannya bisa menjadi pribadi yang tangguh di setiap keadaan.

Me In The Future

  • cepat tanggap
  • rajin
  • tidak baperan
  • sabar
  • tidak egois
  • idealis
  • fokus pada tujuan
  • planner